Pers, Pengabaian yang Berimplikasi Serius
Pada beberapa berita perselingkuhan dan bernuansa sensual, sering pula diikuti perundungan terhadap tokoh dalam berita yang sekaligus dapat mencerminkan suasana batin kebencian pada diri si penulis berita.
Bukalah mesin pencari Google, klik salah satu kata: pencuri, pembunuh, pemerkosa, atau pembunuhan. Hasilnya, Google menyajikan berbagai konten sesuai kebiasaan kita ketika berselancar di internet. Bagi pembaca berita media siber, mendapatkan beragam berita kriminal yang senada kata kunci.
Sepintas lalu, seluruh konten berita terlihat biasa-biasa saja. Namun jika menelisiknya melalui kacamata hukum pers dan etika jurnalistik, terlihat persoalan mendasar pada pers Indonesia. Bahwa sebagian pers terbiasa menyajikan berita yang menghakimi.
-
Kapan kalimat opini biasanya muncul? Menunjukkan peristiwa yang belum pasti terjadi atau terjadi dikemudian hari.
-
Kenapa libur nasional penting? Libur nasional memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk beristirahat, bersantai, dan mengisi ulang energi setelah bekerja atau belajar dengan keras. Libur nasional juga dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik, serta produktivitas kerja.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Siapa yang bisa membuat kalimat opini? Merupakan pikiran atau pendapat seseorang maupun kelompok.
-
Apa yang membedakan kalimat fakta dan opini? Kalimat fakta dan opini memiliki fungsi dan tujuan yang tak sama.
-
Kapan kalimat fakta dan opini muncul? Perbedaan fakta dan opini bisa dilihat dari penggunaannya saat berkomunikasi atau menyampaikan informasi.
Sebagai contoh, pada salah satu kata kunci pembunuh, muncul konten dari media siber (media berita) mengenai berita pembunuhan. Pada banyak konten berita terdapat diksi “pelaku”, jadilah pelaku pembunuhan. Begitu juga pada kata kunci pencuri, akan terdapat atribusi pelaku pencurian. Begitu seterusnya.
Jika kata “pelaku” disematkan setelah putusan pengadilan, maka tidak masalah. Namun ketika masih proses kepolisian, kejaksaan, dan sidang pengadilan, jelas terasa menghakimi. Sebetulnya pada tingkatan proses hukum terdapat perbedaan atribusi yang mendasar. Proses kepolisian dan kejaksaan disebut tersangka, masuk persidangan ditabalkan terdakwa, setelah vonis hakim menjadi terpidana.
Pada beberapa berita perselingkuhan dan bernuansa sensual, sering pula diikuti perundungan terhadap tokoh dalam berita yang sekaligus dapat mencerminkan suasana batin kebencian pada diri si penulis berita.
Persoalan-persoalan yang terlihat sederhana tersebut, sangat jamak terjadi dalam berbagai media siber (media berita) yang ada di Indonesia. Mulai dari tingkatan yang serius, hingga ke tingkat yang paling rendah. Korelasinya, semakin rendah kualitas konten media siber tersebut semakin tinggi pengabaian etika dalam penggunaan kata.
Sebaliknya, semakin tinggi kualitas konten media siber (media berita) semakin rendah pelanggaran etikanya. Namun untuk mengatakan tidak terjadi pelanggaran etika pada penggunaan bahasa yang serampangan tersebut, sama sekali tidak mungkin.
Contoh judul artikel dalam media yang sangat ketat dalam proses produk jurnalistiknya saja pernah terjadi juga. Sebagai contoh, artikel berjudul Polisi Tangkap Pelaku Pembunuhan Kasus Mayat dalam Karung di Kali Pesanggrahan. Ada juga berita berjudul Pelaku Pembunuhan Pelajar SMP di Magelang Teman Korban, Ini Motifnya.
Pada dua contoh berita di media arus utama tersebut, beritanya dipublikasikan di saat kasusnya masih dalam tahap proses di kepolisian. Artinya, hampir semua media siber terdapat artikel yang demikian. Pertanyaan di sini, apakah pola penulisan semacam ini sudah menjadi kebiasaan bagi pers di Indonesia atau hanya ketidaksengajaan karena terburu-buru dalam menyampaikan berita ke publik.
Katakanlah hal tersebut adalah sebuah ketidaksengajaan, maka itu menjadi ketidaksengajaan yang berimplikasi hukum yang serius. Apapun keadaannya, atribusi “pelaku” sejak proses kepolisian dan kejaksaan hingga proses peradilan, dapat dikatakan trial by the press.
Artinya dari sisi etik, maka ada pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, pada Pasal 3, yaitu: wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencapuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Bahkan, menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 2 disebutkan bahwa pers nasional adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemudian pada Pasal 3 disebutkan pers nasional wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tak bersalah.
Bagir Manan dalam bukunya Menjaga Kemerdekaan Pers dalam Pusaran Hukum, menyebutkan trial by the press menjadi bagian dari contempt of court (pelecehan terhadap tatanan peradilan). Karena Indonesia belum memiliki Undang-Undang Contempt of Court, maka satu-satunya cara menghindari trial by the press adalah kepatuhan pers pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Karena itu, Dewan Pers yang mendapat amanat dari Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk meningkatkan kualitas profesi wartawan, perlu merancang sistem baru untuk memperbaiki persoalan yang sangat jamak terjadi tersebut. Apalagi hal tersebut paling elementer dalam dunia pers. Sehingga martabat dan wibawa pers nasional dapat meningkat, dan kepercayaan publik menjadi lebih baik.
(mdk/has)