Kisah akhir dari Perang Aceh yang patut dihargai
Kerajaan Aceh ini berdiri di tahun 1514 dan berakhir ketika masa Perang Aceh, tepatnya di fase Perang Sabil.
Nama Kerajaan Aceh mungkin sudah nggak asing lagi buatmu. Kerajaan Aceh ini berdiri di tahun 1514 dan berakhir ketika masa Perang Aceh, tepatnya di fase Perang Sabil. Berakhirnya Kerajaan Aceh memang membuat rakyat merasa sedih dan kecewa, tapi itu sama sekali nggak menyurutkan semangat mereka. Cut Nyak Dien juga terus menyemangati para rakyat untuk melakukan gerilya pada pihak Belanda. Namun, di tahun 1906, pos pertahanan milik pasukan Cut Nyak Dien berhasil dikepung oleh Belanda. Cut Nyak Dien sendiri ditngkap dan dibuang ke Sumedang sampai akhirnya meninggal di tanggal 8 Nobember 1908.
Meskipun salah satu pahlawan sudah meninggal, rakyat Aceh tetap melakukan penyerangan demi penyerangan. Di Pidie, beberapa ulama masih meneruskan serangan ke pos-pos milik Belanda. Banyak pejuang yang meninggal di Perang Sabil ini. Pejuang terakhir yang melakukan penyerangan di wilayah ini adalah Teungku Ma’at Tiro yang ditembak mati di tahun 1911 oleh Belanda. Di sisi pesisir utara dan timur, keluarga Cut Nyak Mutia masih terus melakukan perlawanan. Ayah dan suaminya juga ikut terbunuh dalam penyerangan ini. Sebelum meninggal, suaminya sempat berpesan untuk menikah lagi dengan Pang Nanggru. Akhirnya, menikahlah kedua pejuang itu dengan tujuan untuk kemerdekaan bangsa.
Pada tanggal 26 September 1910, di Paya Cicem terjadi sebuah pertempuran yang sengit. Pang Nanggru meninggal sedangkan Cut Nyak Mutia berhasil melarikan diri bersama anak dari Raja Sabil. Namun, Cut Nyak Mutia akhirnya meninggal dengan peluru yang menembus kaki dan tubuhnya. Dengan meninggalnya para pejuang itu, bisa dikatakan kalau itu adalah akhir dari Perang Aceh. Semangat juang rakyat Aceh ini wajib untuk kita hormati.