1,7 Juta anak Indonesia korban eksploitasi
Berita Indonesia cepat, aktual, serius, unik, dan baru: Data pemerintah tahun 2011, lebih dari 1,7 juta kasus merupakan kasus eksploitasi anak dalam klasifikasi buruk.
Kasus S (15) siswi kelas 6 SD di wilayah Koja, Jakarta Utara, yang terpaksa menjadi penyanyi di kafe dangdut, bukanlah satu-satunya bentuk eksploitasi pada anak yang terjadi di Indonesia.
Data pemerintah tahun 2011 menyebutkan, dari 6,5 juta kasus kekerasan terhadap anak, lebih dari 1,7 juta kasus merupakan kasus eksploitasi anak dalam klasifikasi buruk, termasuk di dalamnya kasus anak bekerja pada tempat hiburan malam, pembantu rumah tangga, pekerja tambang, dan di tengah laut. Namun dari 1,7 juta kasus, pemerintah hanya mampu menangani 11 ribu kasus per tahunnya.
"Masih kecil, tidak ada nol koma sekian persen. Tahun ini pemerintah hanya menargetkan setiap tahunnya, akan menangani 11 ribu kasus. Itu sangat kecil, dan tidak akan tercapai pada 2030," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait kepada dalam perbincangan denganmerdeka.com, Jumat (4/5).
Menurut Arist, minimnya alokasi anggaran dari APBN menjadi penyebab utama lambannya penyelesaian kasus kekerasan anak. Setidaknya saat ini alokasi anggaran untuk penanganan kasus anak hanya Rp 300 miliar. "Ini sangat kecil," lanjutnya.
Idealnya, dibutuhkan dana Rp 1,2 triliun dari APBN yang harus dimiliki masing-masing lintas Kementerian terkait seperti Kementerian Kesehatan dan Pendidikan, untuk menyelesaikan kasus kekerasan pada anak. "Karena tidak hanya memindahkan si anak itu, tapi harus dipikirkan juga sekolahnya dan lainnya," terang Arist.
Dengan kondisi seperti ini, Arist menambahkan saat ini anak berada pada situasi tidak aman. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan dari 5.361 kasus kekerasan pada anak yang terlaporkan ke Komnas PA sepanjang tahun 2010 hingga 2012, lebih dari 68% jenis kekerasan seksual. Sisanya merupakan bentuk kekerasan fisik.
"Artinya, saat ini anak berada pada situasi tidak aman. Dan pelakunya justru dilakukan oleh orang terdekat," ujarnya..
Orang tua, sebagai pihak utama yang bertanggung jawab memberikan jaminan perlindungan terhadap anak, justru menjadi pelaku utama perusak masa depan anak. Maka tidak jarang ditemukan kasus ayah memperkosa anaknya sendiri. "Peran orang tua sekarang bobol," lanjutnya.
Tidak hanya itu, masyarakat baik institusi seperti keagamaan, sekolahan, maupun organisasi masyarakat juga turut andil sebagai pelaku kekerasan kepada anak. "Di sekolah gurunya pelaku, di tempat mengaji, guru ngajinya juga pelaku," tegasnya.
Bahkan, lanjut Arist, pemerintah juga ikut-ikutan melakukan tindak kekerasan kepada anak melalui kebijakan yang justru mengabaikan hak. "Seperti ujian nasional, orang yang belum bayar tidak boleh ikut."
Untuk menghentikan tindak kekerasan kepada anak, sudah saatnya semua pihak harus menghargai toleransi, perbedaan, HAM, dan pluralisme. Kalau kita berbeda, nggak harus gontok-gontokan. "Itu semua harus menjadi tantangan, bagaimana ini menjadi kesepakatan bersama mendorong pemerintah untuk perang terhadap itu," pungkas dia.
(mdk/yac)