3 Kali kalah, KPK curhat kejanggalan praperadilan di Komisi III DPR
KPK merasa kekalahan terjadi karena substansi praperadilan diubah.
Plt Pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Taufiequrrachman Ruki mengadu ke Komisi III DPR soal kalahnya KPK di sidang praperadilan. Sejauh ini, KPK telah menerima15 permohonan praperadilan. Namun hanya 3 pemohon praperadilan yang dikabulkan.
Kasus praperadilan pertama yaitu yang melibatkan Budi Gunawan. Ruki mengaku ada perubahan dalam subtansi praperadilan kala itu. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dianggap tidak sah oleh Hakim Sarpin Rizaldi.
Hakim dalam putusannya menyebutkan jika, kala itu status Karobinkar yang dipegang Budi Gunawan merupakan jabatan adminstratif dan bukan penegak hukum. Selain itu, saat kasus yang disangkakan terjadi, Budi bukan penyelengara negara lantaran saat itu masih golongan eselon II A.
Hal ini yang disayangkan KPK dalam proses praperadilan. Menurut Ruki, substansi selalu diubah sehingga membuat KPK kalah dalam sidang itu.
"Setiap kali praperadilan selalu subtansinya diubah. Praperadilan memutuskan bahwa Budi Gunawan tidak atau belum termasuk kelompok penyelanggara negara, status hanya eselon II. Bukan kewenangan KPK," kata Ruki di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/6).
Kemudian praperadilan yang kedua terkait Mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. KPK kala itu menetapkan Ilham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006-2012 pada 7 Mei 2014. Penetapan tersangka itu bertepatan dengan akhir jabatannya sebagai Wali Kota Makassar.
Kemudian dalam persidangan muncul masalah bukti, ketika itu dipersoalkan penyidik KPK dianggap belum memiliki alat bukti. Kemudian praperadilan dari pembuktian adanya alat bukti berubah menjadi pengesahan alat bukti.
"Dari termonologi saja tidak pas. Kalau alat bukti harusnya di pengadilan, bukan praperadilan. Apakah ini akan menguji barang bukti atau menguji keberadaan bukti. Kami sudah punya bukti fotokopi. Bukti itu dianggap tidak sah. Ini mau bukti atau sah atau tidaknya praperadilan," kata dia dihadapan puluhan anggota Komisi III DPR.
Ruki mengakui bahwa dalam kerja KPK, perintah penyidikan baru dikeluarkan setelah mengantongi dua alat bukti. Hal tersebut yang membuatnya yakin bahwa penyidikan harus jalan.
Sedangkan praperadilan yang ketiga mantan terkait Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo sebagai pihak pemohon. Dalam kasus ini, KPK kembali kalah karena persoalan kewenangan penyidik.
"Persoalannya adalah sah atau tidaknya penyelidikan dan penyidikan di lapangan KPK. Ini hal baru," tuturnya.
Dalam putusannya memang Hakim Tunggal Haswandi menyatakan, penyelidik dan penyidik KPK tidak sah karena bukan berasal dari Polri dan kejaksaan. Oleh karena itu, ia memutuskan KPK harus menghentikan penyidikan kasus Hadi.
Namun, kata Ruki, yang digugat Hadi merupakan penetapannya sebagai tersangka, bukan untuk menghentikan perkara.
"Kalau penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah, terus gimana nasib perkara yang ditangani sejak 2005. Di mana lex spesialis KPK?" tandasnya.
Lanjut Ruki, dia menyatakan, praperadilan tidak merujuk pada KUHAP. "Bahwa penetapan tersangka bisa dilakukan dalam praperadilan, ini tidak diatur dalam KUHAP. Bagaimana tindak pidana korupsi yang sudah inkracht yang ditangani penyidik yang sama," tuturnya.