4 Analisa penyebab hilangnya AirAsia
Muncul pertanyaan dari publik, apa yang menyebabkan kapal di Indonesia 'sering' hilang dari kontak ATC.
Pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ 8501 dinyatakan hilang kontak dari Air Traffic Controller (ATC) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Minggu (28/12). Kabar ini lantas menarik perhatian publik maupun berbagai golongan untuk memberikan analisa terkait hilangnya pesawat tersebut.
Dua hari sudah pencarian, namun tak ada tanda dari keberadaan pesawat yang mengangkut 155 penumpang dan tujuh awak ini. Muncul pertanyaan dari publik, apa yang menyebabkan kapal di Indonesia 'sering' hilang dari kontak ATC.
Bermacam-macam perspektif disampaikan, bukan dari masyarakat biasa melainkan dari pihak yang memiliki peran untuk menganalisa baik dan buruknya cuaca ketika melakukan penerbangan.
Bukan hanya keberadaan pesawat ini yang menuai polemik, penyebab hilangnya pesawat kini menjadi suatu keharusan untuk diketahui. Pasalnya, hal ini menjadi cermin berbenah diri guna memberi kepercayaan publik terhadap maskapai penerbangan di Indonesia.
Berikut 4 analisa penyebab hilangnya kontak AirAsia yang telah dirangkum merdeka.com :
-
Kapan AirAsia QZ8501 jatuh? Pada 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Singapura.
-
Apa yang menjadi penyebab jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501? Selain kesalahan dalam manajemen penerbangan, kurangnya pemahaman awak pesawat terhadap sistem kontrol penerbangan juga menjadi penyebab jatuhnya pesawat.
-
Bagaimana kondisi cuaca saat AirAsia QZ8501 jatuh? Kondisi cuaca yang buruk, termasuk awan tebal dan hujan deras, menjadi faktor yang sangat memengaruhi kejadian tersebut.
-
Kenapa AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata? AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata pada 28 Desember 2014 karena penyebab utamanya adalah kesalahan dalam manajemen penerbangan.
-
Dimana pesawat AirAsia QZ8501 jatuh? Pada 30 Desember 2014, badan pesawat dan puing-puing lainnya ditemukan di dasar laut Selat Karimata.
-
Kenapa kontrak kerja Qorry di Air Asia tidak diperpanjang? Pertemuan Zoom itu diadakan jam satu siang. Pertemuan itu berlangsung 30 menit. Di situ chief atau atasan Qorry meminta maaf karena situasi penerbangan tidak memungkinkan, sehingga kontrak Qorry tidak diperpanjang.
Awan Cumulonimbus
Kejadian hilang kontak pesawat AirAsia QZ 8501 diduga bermula ketika pilot menghindari awan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga mengakui saat kejadian cuaca memang tidak baik.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membenarkan adanya gumpalan awal tebal pada jalur penerbangan yang dilintasi pesawat AirAsia itu. Kepala BMKG Andi Eka Satya menyebut, gumpalan awan tersebut bernama 'Cumulonimbus'.
Dia menuturkan, bentuk awan tersebut memang tebal dan di dalamnya terdapat petir dan angin. Maka, tak heran jenis awan ini selalu dihindari pesawat.
"Awan itu biasanya dihindari oleh pilot. Bentuknya tebal sekali, dan ada ulakan-ulakan. Kalau lewat di dalamnya bikin pesawat goyang," kata Andi kepada merdeka.com, Minggu (28/12).
Andi menambahkan, lokasi awan Cumulonimbus saat kejadian hilang kontak pesawat AirAsia QZ 8501 itu berada di antara Belitung dan Kalimantan. "Dari lokasi itu yang kita punya, memang sedang ada kumpulan awan yang tebal. Itu terjadi di sekitar Belitung sampai Kalimantan," ujarnya.
Cumulonimbus adalah awan vertikal menjulang yang sangat tinggi (2.000-16.000 meter), padat, dan di dalamnya mengandung badai petir serta cuaca dingin.
Cumulonimbus berasal dari bahasa latin "cumulus" berarti kumpulan dan "nimbus" berarti hujan. Awan ini terbentuk karena ketidakstabilan atmosfer. Awan-awan ini dapat terbentuk sendiri atau berkelompok. Awan ini membesar secara vertikal, bukan horizontal sehingga bisa berbentuk seperti jamur menjulang.
Petir yang berada di jantung awan bisa menimbulkan curah hujan tinggi dan angin kencang. Petir ini biasanya menghilang setelah 20 menit. Namun jika terdapat energi matahari di atmosfer, petir bisa makin banyak dan berlangsung hingga hitungan jam. Awan ini biasa ditemukan di kawasan tropis.
Pilot terlalu pelan
Pesawat AirAsia yang hilang kontak sejak Minggu (28/12) disebut-sebut terbang terlalu pelan demi menghindari cuaca buruk. Hal itu dikatakan ahli penerbangan Geoffrey Thomas.
"Pilot AirAsia QZ8501 diyakini menurunkan kecepatan terbangnya untuk menghindari kondisi cuaca yang buruk, namun sayangnya ia terbang terlalu pelan," ujar Thomas, seperti dilansir koran Daily Mail, Senin (29/12).
Thomas juga mengatakan pesawat AirAsia ini terbang sekitar 100 knot atau 160 km/jam. Hal tersebut sangat berbahaya bagi pesawat di titik koordinat seperti tempat hilangnya pesawat ini.
Pesawat tipe Airbus A320 ini hilang di sekitar perairan Kalimantan Tengah hingga Bangka Belitung. Pesawat yang membawa 162 orang ini hilang sekitar pukul 06.20 WIB. Beberapa spekulasi mengatakan cuaca, kecepatan, dan sistem radar yang sudah tua menjadi penyebab hilangnya pesawat.
Kepala Badan SAR Nasional (BASARNAS), Henry Bambang Sulistyo, mengatakan seluruh tenaga dikerahkan untuk mencari pesawat milik maskapai Malaysia ini. Bahkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Australia ikut membantu pencarian pesawat tersebut.
Topik pilihan: AirAsia | Maskapai Penerbangan
Tidak memutari awan
Menanggapi hilangnya pesawat AirAsia QZ8501, ahli penerbangan dari perusahaan konsultan Martin Consulting asal Amerika Serikat, Mark Martin mengatakan, prosedur standar bagi setiap pilot pesawat dalam cuaca buruk adalah terbang memutari awan, bukan terbang di atasnya.
Situs Asia One melaporkan, Senin (29/12), pilot pesawat rute Surabaya-Singapura yang membawa 155 penumpang dan tujuh awak itu sebelumnya terbang di ketinggian 32 ribu kaki dan diminta terbang ke ketinggian 38 ribu kaki untuk menghindari awan.
"Meski memiliki kelengkapan radar di pesawat, praktik standarnya adalah terbang mengitari cuaca buruk, ketimbang terbang di atasnya," kata dia.
Jika pesawat memasuki awan cumulonimbus yang banyak mengandung petir dan bercuaca dingin, kata dia, petunjuk peralatan di pesawat juga bisa terpengaruh dan membuat pilot harus bermanuver.
Dengan membawa 162 orang, pesawat tampaknya cukup "berat" dan bahan bakar tidak sepenuhnya terbakar untuk mendorong pesawat naik di tengah cuaca dingin awan cumulonimbus.
Topik pilihan: AirAsia | Maskapai Penerbangan
Enam pesawat kepung AirAsia
Berdasarkan hasil analisa Air Navigation (Airnav), ada enam pesawat pada waktu bersamaan dengan AirAsia QZ8501 meminta izin naik dari 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki untuk menghindari awan Cumulonimbus atau kumpulan awan yang berisi hujan besar.
"Jadi, saat waktu yang sama, ada enam pesawat di sekitar AirAsia dengan detik waktu yang sama pula. Pesawat itu diantaranya Garuda Indonesia, Lion Air, Uni Emirates dan lainnya," ujar Direktur Utama Airnav Bambang Cahyono di Kantor Otoritas Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Senin (29/12).
Saat itu, kata Bambang, AirAsia berada di ketinggian 32 ribu kaki dan meminta izin untuk menambah ketinggian ke 38 ribu kaki. Namun pada ketinggian 38 ribu kaki, ternyata ada pesawat Garuda Indonesia hingga akhirnya pesawat AirAsia berbelok ke kiri dan lalu hilang kontak.
"Jadi, di atas pesawat AirAsia itu ada pesawat Garuda. Sehingga, AirAsia tidak bisa menambah ketinggian sesuai dengan permintaan," paparnya.
Berbagai langkah sesuai dengan prosedur pun telah dilakukan untuk melakukan komunikasi dengan pilot pesawat tetapi tidak bisa. Hingga akhirnya, pesawat yang tinggal landas sekitar pukul 05.36 WIB hilang kontak dan tidak bisa dimonitor lagi.