Adilkah buat Calista, bila kasus ibu menganiaya tak sampai ke pengadilan?
Sinta sudah ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan diketahui, pacar Sinta juga sering menganiaya bayi Calista. Tak jarang pria itu pula yang membuat Sinta melampiaskan kemarahannya pada Calista. Selain itu, Sinta tega menganiaya buah hatinya karena motif ekonomi.
Bayi Calista mungkin belum bisa menceritakan getir hidup yang dialami. Namun jiwanya sangat terluka seperah luka fisik yang berulang kali dia alami.
Padahal, usianya baru 15 bulan. Bukannya menjadi kesayangan kedua orangtua, bayi Calista malah harus berulang kali menerima perlakuan kejam dari orangtua yang telah melahirkannya.
-
Kapan tahnik bayi dilakukan? Praktik tahnik bayi yang baru lahir disyariatkan oleh Allah melalui petunjuk Rasulnya dengan cara menyuapinya sedikit buah kurma yang sudah dikunyah dan dibasahi.
-
Dimana kekerasan pada anak dilarang? Banyak negara telah mengesahkan undang-undang yang melarang kekerasan terhadap anak.
-
Kapan pijat batuk pada anak disarankan? Pijat batuk dapat memberikan relaksasi sekaligus meredakan batuk anak.
-
Kenapa bayi sering cegukan? Cegukan pada bayi umumnya merupakan fenomena alami dan tidak perlu menjadi sumber kekhawatiran yang berlebihan bagi orangtua.
-
Apa yang ditemukan pada kerangka bayi tersebut? Setelah kematiannya, bayi itu dimakamkan dengan kalung yang terbuat dari 93 manik-manik faience dan vitreous, serta enam manik-manik cornelian, sebuah temuan yang menunjukkan perawatan yang diterimanya dalam hidup dan mati.
-
Apa yang dilakukan anak tersebut kepada ibunya? Korban bernama Sufni (74) warga Jalan Nelayan Kelurahan Sri Meranti Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru. Sedangkan pelaku Hendri (52), dan istrinya N (51). Setelah mendapat video tersebut Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru Kompol Bery Juana Putra bersama anak buahnya langsung datang ke rumah pelaku.
Sinta (27) berkali-kali menyakiti bayi malang tak berdosa itu. Bahkan terakhir, bayi Calista disiksa dengan begitu keji sampai harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang. Usai dianiaya ibunda, kerap kali Calista mengalami kejang. Dia juga belakangan diketahui menderita radang otak. Kondisi sakit yang serius membuat kesehatan bayi Calista terus menurun.
Tepat akhir pekan kemarin, Minggu (25/3), Calista akhirnya mengembuskan napas terakhir. Calista kini sudah tenang di tempat peristirahatannya di TPU di Kampung Jatirasa Barat, RT 004 RW 001, Desa Karangpawitan, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang. Dia tak lagi merasakan sakitnya siksa ibunda.
Sinta sudah ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan diketahui, pacar Sinta, juga sering menganiaya bayi Calista. Tak jarang pria itu pula yang membuat Sinta melampiaskan kemarahannya pada Calista. Selain itu, Sinta tega menganiaya buah hatinya karena motif ekonomi.
Kasus ini tengah ditangani Mapolres Karawang. Namun Polri tengah mencari jalan keluar untuk menyelesaikan kasus tersebut di luar pengadilan. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto, mengatakan, pihaknya memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan kebijakan tersebut, yakni diskresi dan restorative justice.
"Itu kita mengambil suatu langkah penyelesaian di luar pengadilan. Kalau diskresi kita bisa memutuskan untuk kepentingan yang lebih besar," ujar Setyo di Mabes Polri, Senin (26/3).
Meski demikian, Setyo menuturkan, proses penyidikan kasus kekerasan terhadap bayi Calista tetap berlanjut. Belum ada penghentian penyidikan selama upaya menyelesaikan perkara di luar pengadilan belum diputuskan. Bahkan Sinta masih ditahan.
"Saya nyatakan kasusnya masih jalan, tetapi Kapolres sedang mencari informasi-informasi terkait dengan kasus ini, termasuk memeriksa keterangan ahli untuk mendukung. Sehingga nanti apa yang diambil keputusan bisa memuaskan semua pihak dan menjadi kepastian hukum," kata Setyo.
Sinta masih memiliki anak kecil yang tentu memerlukan kasih sayang orangtuanya. Belum lagi kondisi psikologis Sinta yang belum stabil. Ditambah rasa duka setelah kehilangan anaknya. Semua kondisi itu menjadi pertimbangan kepolisian melanjutkan kasus ini ke pengadilan.
"Kita gambarkan ketika kita hukum ibunya, tapi dia depresi, anaknya terlantar, apa itu adil? Makanya yang dikatakan Pak Kadiv tadi, kita sedang berproses. Penegakan hukum, supremasi hukum jelas harus dijunjung tinggi, tapi keadilan di atas itu," terang Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Mohammad Iqbal.
Kisah pilu Calista mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Mengecam dan sedih melihat apa yang dialami bayi Calista.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, menilai upaya kepolisian untuk menyelesaikan di luar pengadilan sebenarnya bentuk terobosan positif di tubuh Polri. Namun, jika melihat kejahatan yang dilakukan Sinta pada anaknya, hendaknya bisa memberikan efek jera.
"Efek jera langsung adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Efek jera tak langsung, tepatnya disebut efek tangkal, adalah agar masyarakat tidak meniru perbuatan pelaku. Dalam konteks ini, LPAI sangsi bahwa penanganan di luar jalur pengadilan atas Sinta akan dapat memenuhi efek jera sekaligus efek tangkal tersebut," kata pria akran disapa Kak Seto dalam keterangannya yang diterima merdeka.com, Senin (26/3).
Dia menambahkan, menjadikan kesulitan ekonomi sebagai faktor penggugur proses pidana atas diri pelaku berisiko disalah-artikan masyarakat, bahwa dispensasi hukum seolah berlaku bagi masyarakat tertentu. Padahal, dalam nalar kejahatan sebagai solusi, sangat sulit dipahami bahwa kesulitan ekonomi justru tidak berlanjut dengan kejahatan ekonomi sebagai 'jalan keluar' atas masalah hidup pelaku tersebut.
"Kesulitan ekonomi yang dikompensasi dengan tindakan penganiayaan bayi merupakan bentuk perendahan harkat kemuliaan manusia oleh orang yang dianggap sebagai figur terdekat atas darah dagingnya sendiri," katanya.
Kegagalan berulang Sinta dalam kehidupan perkawinannya mengindikasikan bahwa yang bersangkutan pada dasarnya sudah memiliki satu faktor risiko yang berdasarkan studi diketahui bertali-temali dengan tindak kejahatan yang disertai kekerasan. Hal ini berkaitan dengan bahasan tentang risk assessment (penakaran risiko).
"Risk assessment dilakukan dengan meninjau beberapa faktor pada diri pelaku. Pertama, riwayat gangguan mental dan penyalah-gunaan obat-obatan. Kedua, pola dalam mengekspresikan amarah. Ketiga, kemampuan memenuhi kebutuhan diri sendiri. Keempat, fantasi-fantasi kekerasan. Dan kelima, kemampuan menjaga stabilitas hal-hal mendasar, semisal tempat tinggal, pekerjaan, dan perkawinan," jelas Kak Seto.
"Risk assessment dilakukan dalam rangka memastikan bahwa masyarakat tidak akan terekspos lagi dengan perilaku kekerasan si pelaku kelak setelah ia keluar dari penjara. Dalam konteks semacam kasus Calista, risk assessment diadakan untuk memastikan bahwa andai kelak memiliki bayi kembali, Sinta tidak akan melakukan penganiayaan lagi terhadap anaknya," sambungnya.
Jika pun kasus ini sampai di pengadilan, dia menilai, vonis hakim adalah wujud dari tuntasnya proses hukum, juga mencerminkan terpenuhinya nilai keadilan yang diidamkan masyarakat dan bayi Calista sendiri. Spesifik terhadap bayi Calista, vonis bersalah yang hakim jatuhkan mencerminkan pengembaliaan harkat kemuliaan diri bayi malang tersebut.
"Hanya dengan kerangka berpikir dan bingkai kerja di atas, kebutuhan pelaku akan treatment (seperti yang dikemukakan Kapolres Karawang) serta kepentingan masyarakat dan anak-anak Indonesia akan adanya punishment dan protection akan menemukan titik harmonisnya. Treatment, punishment, protection, inilah trisula ideal penegakan hukum atas kasus-kasus kejahatan terhadap anak di Tanah Air," papar Kak Seto.
Baca juga:
Polri cari jalan di luar pengadilan buat selesaikan kasus kematian bayi Calista
Cerita bayi di Karawang dianiaya ibunya hingga tewas diduga karena faktor ekonomi
Polisi tetapkan kakak beradik penyekap balita di hotel sebagai tersangka
Kakak beradik siksa dan sekap balita di hotel selama 3 hari
Polisi ringkus pelaku pembunuh balita dan penganiaya sang ibu
KPAI minta dilakukan tes kejiwaan orang tua diduga bunuh bayi di Samarinda
Diduga tewas dianiaya, tubuh bayi 9 bulan di Samarinda penuh luka