'Anak muda mungkin bilang Pak Harto lebay di film G 30 S/PKI'
Pembunuhan enam jenderal yang dipimpin Komandan Batalyon Cakrabhirawa merupakan fakta sejarah yang bersifat sepihak.
Pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta Budiawan PhD menilai film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" (1984) yang disutradarai Arifin C Noer memang terlalu berlebihan dalam menonjolkan peran Soeharto (almarhum mantan presiden yang akrab disapa Pak Harto).
"Kalau anak muda sekarang mungkin bilang Pak Harto terlalu 'lebay' dalam film itu, karena film yang berdurasi 4 jam 31 menit itu berdimensi tunggal dengan sajian kalah dan menang, sehingga Mbak Nani (Nani Sutojo) menyebut sebagai kenangan tak terucap. Dalam psikologi, kenangan tak terucap itu merupakan trauma," tukas Budiawan dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" karya putri almarhum Mayjen Anumerta Sutojo yang terbunuh dalam Tragedi 1965, Dr Nani Nurrachman Sutojo.
Menurut sejarawan itu, penguasa sering mewujudkan sejarah dalam bentuk monumen, museum, film, buku teks, upacara peringatan, dan bentuk-bentuk yang tidak memberi tempat kepada pengalaman dari korban dan pelaku yang sebenarnya.
"Saya sepakat perlunya rekonsiliasi, tapi rekonsilisasi itu memerlukan upaya mendengar dan mengakomodasi pengakuan dari korban dan pelaku yang sebenarnya, sehingga sejarah tidak dibaca secara politis, melainkan membaca sejarah secara humanis," katanya dikutip antara.
Pandangan yang sama juga dikemukakan pengajar Fakultas Psikologi Ubaya Dr Elly Yuliandari Psi. "Saya kira buku ini wajib dibaca oleh pelajar, mahasiswa, dan bangsa ini, karena Bu Nani menyikapi trauma dengan dua cara yakni memaafkan tanpa melupakan dan menyosialisasikan perlunya rekonsiliasi. Itu luar biasa," paparnya.
Sementara itu, Nani Nurrachman Sutojo menegaskan bahwa tragedi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan enam jenderal yang dipimpin Komandan Batalyon Cakrabhirawa merupakan fakta sejarah yang bersifat sepihak.
"Kita perlu dan butuh untuk menyajikan kembali masa lalu sebagaimana sejatinya dialami oleh para korban dan pelaku, dan bukan berdasarkan persepsi dan evaluasi sepihak, siapapun pihak tersebut," katanya dalam bedah buku karyanya di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya), Jumat.
Dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" yang juga menampilkan Budiawan PhD (sejarawan, pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta) dan Dr Elly Yuliandari Psi (pengajar Fakultas Psikologi Ubaya), ia mengatakan penyajian masalah lalu perlu narasi secara intelektual.
"Narasi ulang sejarah sejak Tragedi 1965 hingga kini yang ditulis tidak dengan emosional itu harus merupakan jawaban atas pertanyaan yang hingga kini masih menggema dalam pikiran saya, yakni dalam bentuk apa masa lampau akan kita serahterimakan kepada masa depan?" tuturnya.
Penulis memoar yang juga pengajar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta itu menunjuk kemampuan pemimpin bangsa ini yang mampu menjadi mediator dalam memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi pada bangsa lain, bahkan dapat berdamai dengan "tetangga" Timor Leste, tetapi tak kunjung selesai dengan Tragedi 1965.
"Setiap usaha untuk mengkonstruksi kebenaran tunggal mengenai sejarah akan menyebabkan kita terjerembab dalam permainan klaim kekuasaan yang memosisikan sebagai 'pemenang' dan pihak lain sebagai pihak yang 'kalah'. Dikotomi yang justru mengaburkan sejarah itu sendiri," ujarnya.
Dalam bukunya itu, Nani Sutojo bukan hanya menyinggung tentang sejarah masa lalu yang perlu "diluruskan" dengan narasi baru, tetapi juga menawarkan penyembuhan bagi luka dan trauma dalam sejarah bangsa ini dengan "memaafkan tanpa melupakan" sebagai upaya rekonsiliasi, karena manusia tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lain.