Atut pasrah dan panjatkan doa menjelang vonis
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Atut dengan pidana penjara selama 10 tahun.
Gubernur non-aktif Banten, Ratu Atut Chosiyah bakal menjalani sidang terakhir dalam proses hukumnya, hari ini. Salah satu kuasa hukum Atut, Tubagus Sukatma menyatakan kliennya hanya pasrah dan berdoa menjelang pembacaan vonis.
"Beliau pasrah dan hanya bisa berdoa. Dan menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim," tulis Sukatma melalui pesan singkat kepada merdeka.com, Minggu (31/8).
Bila tak ada halangan, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, bakal membacakan amar putusan terhadap politikus Partai Golkar itu dalam perkara dugaan suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten, di Mahkamah Konstitusi. Ketua Majelis Hakim Matheus Samiaji dijadwalkan membuka sidang pukul 10.00 WIB.
"Sidang putusan sekitar jam 10-an," lanjut Sukatma.
Sukatma tidak ingin berandai-andai ihwal putusan kliennya. Dia juga enggan mengungkap apakah bakal banding bila putusan dirasa tak memenuhi rasa keadilan. Dia juga berkelit ketika disinggung apakah tetap ngotot akan memperkarakan keterlibatan mantan calon Bupati-calon Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah-Kasmin bin Saelan, dalam perkara sama.
"Kita lihat pertimbangan hukumnya nanti," sambung Sukatma.
Pada 11 Agustus lalu, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Atut dengan pidana penjara selama 10 tahun. Jaksa Edy Hartoyo menyatakan Atut dianggap terbukti menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhammad Akil Mochtar, dengan uang Rp 1 miliar dalam pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten.
Jaksa juga menuntut Atut dengan pidana denda sebesar Rp 250 juta. Jika tidak dibayar, maka Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar itu mesti menggantinya dengan pidana kurungan selama lima bulan.
Jaksa juga menuntut pidana tambahan kepada Atut, dengan alasan mencederai nilai-nilai demokrasi. Yakni berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik. Pertimbangan tuntutan pidana tambahan itu adalah, sudah seharusnya Atut sebagai penyelenggara negara menaati asas-asas penyelenggaraan negara supaya terhindar dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Jaksa Edy juga menyatakan Atut sebagai pengurus pusat Partai Golkar dipandang sebagai politikus senior seharusnya memberi contoh politik baik. "Namun terdakwa justru melakukan perbuatan penyuapan. Perbuatan terdakwa tersebut membawa dampak konflik horizontal dan penodaan demokrasi di Mahkamah Konstitusi," ujar Jaksa Edy.
Jaksa menyatakan, perbuatan Atut terbukti melanggar dakwaan primer. Yakni Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.