Belajar Agama Jangan Hanya di Internet, Berpotensi Melenceng
Penggunaan istilah hijrah saat ini menjadi cukup tenar, khususnya di kalangan generasi muda atau dikenal dengan istilah hijrah milenial.
Hijrah itu harus substansial, bisa membawa pelakunya dari keburukan pada kebaikan.
Belajar Agama Jangan Hanya di Internet, Berpotensi Melenceng
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Abdul Rauf Muhammad Amin mengemukakan bahwa hijrah yang dilakukan seseorang harus memiliki pemaknaan yang kontekstual. Oleh karena itu, menurut dia, hijrah tidak bisa dipandang secara hitam putih. Misalnya, dengan mengartikannya sebagai perpindahan tempat semata. Hijrah itu harus substansial, bisa membawa pelakunya dari keburukan pada kebaikan.
- Menekan Peredaran Judi Online Lewat Literasi Digital
- Gen Z dan Milenial Kecanduan Pinjol Sampai Rp27 Triliun, Ternyata Ini Penyebabnya
- Jaga Etika di Dunia Maya, Sahabat Ganjar Beri Literasi Bijak Berinternet ke Warga Kediri
- Ganjar Ajak Milenial Jatim Asah Kemampuan dan Keterampilan: Jangan Nikah Dulu
"Tapi, itu sekali lagi tergantung pada cara berpikir. Terkadang anak-anak milenial itu memaknai hijrah perspektif yang konservatif," kata Rauf, dilansir Antara, Selasa (25/7).
merdeka.com
Menurut dia, penggunaan istilah hijrah saat ini menjadi cukup tenar, khususnya di kalangan generasi muda atau dikenal dengan istilah hijrah milenial.
"Hijrah itu adalah perubahan pola pikir dari Islam yang radikal dan ekstrim, menjadi Islam yang moderat. Islam yang moderat itu yang sebenarnya dikehendaki dalam Islam, ini yang membutuhkan narasi-narasi yang sustainable agar bisa mengurangi terjadinya tren radikalisme," ujarnya.
merdeka.com
Rauf menekankan urgensi agar generasi muda tidak melakukan klaim kebenaran atau truth claim karena hal itu sebenarnya menunjukkan kurangnya ilmu di dalam memahami Islam. Dia menyarankan agar memperbanyak belajar sehingga bisa mengontekstualisasikan Islam dalam kehidupan nyata. Dia juga menyoroti pentingnya mendapatkan panduan beragama yang valid dan aman, yaitu dengan mempelajari rekam jejak dari dai yang diikuti, apakah moderat atau tidak," katanya.
"Sangat disayangkan apabila dai yang kita jadikan panutan justru mengajarkan intoleransi yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai keislaman itu sendiri. Beredarnya banyak kajian di internet yang di isi oleh beragam dai seharusnya membuat kita menjadi lebih selektif dalam mencari pelajaran agama," katanya.
"Dai yang berhasil melakukan kontekstualisasi Islam adalah yang dapat menjadi penolong di tengah sempitnya pemahaman beragama," katanya.
Menurut dia, seorang dai memiliki dua poin yang harus dikerjakan, yaitu pertama, memperbaiki diri dan pemahamannya, kedua harus menarasikan pemikiran dan pemahaman yang baik kepada masyarakat. Dia mengingatkan bahwa seorang dai jangan sampai menjadi bagian dari masalah, tapi justru harus bisa jadi solusi dari persoalan. "Termasuk para dai ini sebenarnya punya dua problem. Di samping dia harus memperbaiki diri dan pemahamannya, dia juga harus menarasikan pemikiran dan pemahaman yang baik kepada masyarakat," ujarnya.