Benarkah klaim MKD menteri tak bisa laporkan anggota DPR?
MKD mau menggunakan aturan hukum biar Setnov tak diperiksa. Namun malah salah langkah.
Rapat pleno Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR Setya Novanto kemarin terpaksa ditunda. Alasannya, menurut Ketua MKD Surahman Hidayat, lantaran pihaknya mempersoalkan kedudukan pengadu, dalam hal ini Menteri ESDM Sudirman Said.
"Tentang legal standing, pengaduan. Ini perkara pengaduan kepada MKD dapat disampaikan oleh A, B, C. Dibahas, didiskusikan ternyata kita lihat dokumen itu Pak Sudirman Said ketika mengadukan ke MKD bukan sebagai individu tapi sebagai Menteri ESDM," kata Surahman di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (23/11).
Menurut Politisi PKS ini, tak bisa seorang pengadu membawa jabatan kementeriannya untuk melaporkan kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Ini perlu didudukkan apakah bisa lembaga ekskutif mengadukan lembaga legislatif, ada masalah nanti di sisi kelembagaan," tuturnya.
Dalam pendapatnya, Surahman mengutip ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD. Namun apakah benar seorang menteri tidak bisa melaporkan anggota DPR ke MKD?
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, justru konstruksi pasal yang dipakai Surahman menggunakan kata 'dapat'.
"Sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan BAB III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan huruf B Pilihan Kata dan Istilah, kata 'dapat' digunakan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, dalam hal ini MKD," kata Ronald di Jakarta, kemarin.
Menurut Ronald, MKD tidak perlu merasa kehilangan cantolan ketentuan dari yang sudah diatur Pasal 5 ayat (1) tersebut.
"MKD memiliki diskresi untuk menentukan kriteria baru tentang identitas pengadu apabila dianggap tidak diwakili oleh seluruh kriteria yang ada di Pasal 5 ayat (1). Bukan kemudian mempermasalahkan tidak adanya kriteria yang cocok dengan identitas pengadu, dalam hal ini Sudirman Said," ujarnya.
Menurut Ronald, kalaupun mau memanggil pakar hukum, itu pun tidak sembarangan. "Karena harus punya jam terbang tinggi dan penguasaan yang sangat komprehensif tentang legislative drafting (perancangan peraturan perundang-undangan)," paparnya.
Lagian, kata Ronald, MKD juga sebenarnya bisa menempatkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto dalam kategori tidak memerlukan atau mensyaratkan pengaduan dan ini terbuka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD.
"Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perkara tanpa pengaduan salah satunya adalah (dugaan) pelanggaran UU MD3, peraturan DPR, dan kode etik yang sudah menjadi perhatian publik. Apa yang dialami Setya Novanto bisa masuk kategori ini," ujar dia.
Bukan hanya publik yang tidak sependapat dengan Surahman, tetapi juga Wakil Ketua MKD Junimart Girsang dari Fraksi PDIP.
"Di pasal 5 itu tentang beracara jelas mengatakan siapa saja dapat. Kedua, disebutkan jelas identitas. Ada kronologi masalah. Dalam pasal 5 tidak disebut dilarang menteri. Setiap orang, siapa saja bisa melaporkan bahkan wajib melaporkan apabila ada kejahatan. Karena ini jadi keputusan rapat forum, jadi saya gak bisa berbuat apa-apa," kata Junimart di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, kemarin.
Meski begitu, Junimart enggan menyebutkan secara tegas apakah MKD tengah masuk angin alias diintervensi. Dia hanya bisa menegaskan bahwa arahan partai politik jangan dibawa-bawa dalam rapat internal MKD.
"Jangan sampai MKD terdegradasi, saya gak bilang mayoritas, tapi itulah kenyataan yang dihadapi. Di MKD gak ada fraksi," keluhnya.