Buronan kasus korupsi Irian Jaya ditangkap di Surabaya
Mochtar Thayif divonis 8 tahun bui karena korupsi pengadaan genset di Nabire, Papua. Harga Rp 9 M ditulis Rp 21 M.
Buron kasus korupsi pengadaan mesin genset senilai Rp 31 miliar di Kabupaten Nabire, Jaya Pura, dibekuk di Surabaya, Jawa Timur. Bos PT Prima Utama Mandiri, Mochtar Thayif ditangkap setelah 14 hari putusan Pengadilan Tinggi (PT) Irian Jaya tidak diindahkan.
Pengusaha berusia 56 tahun itu divonis Pengadilan Tipikor Jayapura dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 6 bulan kurungan, pada akhir tahun 2013.
Menurut Kasi II Bid Intel Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua, Irian Jaya, Abdul Hakim, penangkapan Mochtar ini, eksekusi ini dilakukan Kejati karena putusan PT Irian Jaya menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jayapura.
"PT sudah menyampaikan putusan ke Pengadilan Tipikor, yang diteruskan kepada terdakwa berupa surat panggilan terkait kasasi yang ingin diajukan. Namun hingga 14 hari setelah putusan, sesuai aturan, terdakwa tidak pernah datang ke pengadilan," katanya di Kejati Jawa Timur, Senin (6/1).
Mochtar sampai sekarang tidak pernah menyampaikan putusan kasasinya, sehingga diputuskan bahwa putusan pengadilan sudah incrah. "Jadi ini putusan banding terdakwa, tapi yang bersangkutan tidak menggunakan hak kasasinya itu, jadi kejaksaan memutuskan untuk melakukan eksekusi terhadap terdakwa di Surabaya," katanya lagi.
Saat dilakukan penangkapan, Mochtar tengah berada di kantornya yang ada di Surabaya, setelah diintai selama empat hari, dan baru sekitar pukul 10.00 WIB tadi, dia berhasil ditangkap untuk selanjutnya akan dibawa ke Irian Jaya malam nanti.
"Untuk penangkapan, kita dibantu pihak Kejati Jatim, ada empat orang, dan dari kita (Kejati Papua) tiga orang, termasuk saya," terang Hakim.
Dijelaskan Hakim, terdakwa ini merupakan salah satu orang yang terlibat dalam pengadaan mesin genset yang digunakan sebagai alat penerangan di Nabire. "Total anggarannya Rp 31 milyar. Proyek tersebut adalah proyek konsorsium yang dilakukan pada tahun 2007 silam. Untuk Pemkab Nabire sendiri, investasi Rp 9 milyar. Namun oleh terdakwa, uang Rp 9 milyar ini di mark-up, menjadi Rp 21 milyar," beber dia.
Dia melanjutkan, setelah turun putusan dari pengadilan pada September 2013 lalu, terdakwa yang tinggal di Perumahan IKIP Gunung Anyar Blok F/174, Surabaya itu menghilang dari Irian Jaya.
Meski demikian, pihak pengadilan masih berusaha menghubungi pengusaha kelahiran Sulawesi itu melalui telepon. Tetap saja, terdakwa tidak datang ke pengadilan untuk menyampaikan kasasinya.
Sekadar tahu, kasus ini bermula dari pengadaan genset listrik pasca-gempa di Nabire tahun 2006 silam. Saat itu, terdakwa membuat konsorsium dengan mengirim proposal ke Pemkab Nabire untuk pengadaan empat mesin genset.
"Saat itu, terpidana mengiming-imingi Pemkab keuntungan Rp 6 miliar pertahun. Namun sampai saat ini tidak pernah ada keuntungan yang diberikan. Selain itu, dalam pengadaan ini tidak ada tender maupun peraturan daerah yang mengatur pengadaan genset," terang Hakim.
Selain Mochtar Thayif, Hakim juga menyebut keterlibatan mantan Bupati Nabire, A.PM Youw, yang kini masih dalam proses penyidikan, kemudian mantan Ketua DPRD Nabire, Daniel Butu (sudah divonis 2 tahun), serta mantan Sekda Nabire, Ayub Kayame dan Asisten 2 Pemkab Nabire Umar Katjili.
Sementara itu, Thayif sendiri berkilah, kalau dia tidak pernah menerima surat dari pengadilan terkait vonisnya. Meski dia mengakui kalau pernah ditelpon oleh pihak pengadilan.
"Waktu itu dia (pengadilan) bilang mengirim surat ke Surabaya melalui Pengadilan Tipikor Surabaya, tapi sampai sekarang saya tidak pernah menerimanya, malah katanya lagi dikirim via JNE," elak dia menanggapi soal kasasi yang belum pernah disampaikannya ke pengadilan itu.