Cegah Klitih, Sultan HB X Minta Orang Tua Bangun Dialog dengan Anak
Aksi klitih hingga kini masih muncul di Yogyakarta.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta para orang tua mampu membangun dialog dengan anak untuk mencegah kasus kejahatan jalanan atau kerap disebut klitih. Aksi klitih hingga kini masih muncul di Yogyakarta.
"Asal orang tua mau membangun dialog yang baik, saya kira hal seperti itu harus bisa dilakukan. Tapi kalau dengan orang tuanya pun enggak pernah bertemu, pergi ya bebas begitu saja, tidak pernah tahu, pamit pun enggak pernah ya terus bagaimana, kan ada masalah," kata Sultan HB X di Gedung DPRD DIY, Yogyakarta dilansir Antara, Senin (27/3).
-
Siapa yang menemui Sri Sultan HB X di Yogyakarta? Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap isi pertemuannya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Klien Yogyakarta, pada Minggu (28/1).
-
Apa yang dirancang Sri Sultan Hamengku Buwono I di Keraton Yogyakarta? Arsitektur dari Keraton Yogyakarta juga sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan, semua hiasan dan juga tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis dan spiritual yang tinggi.
-
Kapan Kesultanan Yogyakarta didirikan? Kesultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian politik yang mengubah peta kekuasaan di Pulau Jawa.
-
Mengapa Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah ke Yogyakarta? Setelah itu, nama Yogyakarya sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer.
-
Dari mana Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah ke Yogyakarta? Tepat hari ini, 7 Oktober pada 1756 Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta.
-
Di mana situs Kerajaan Sriwijaya ditemukan? Pemancing Temukan "Pulau Emas", Situs Kerajaan Sriwijaya Berusia 400 Tahun Situs kerajaan Sriwijaya pada zaman dahulu yang dikenal sebagai Pulau Emas telah ditemukan para pemancing lokal yang melakukan penyelaman malam hari di Sungai Musi, Sumatera Selatan.
Orang tua, menurut Sultan, perlu mengontrol serta membatasi aktivitas anak di luar rumah, khususnya bagi yang masih di bawah umur.
"Kalau anaknya tidak mau (dibatasi) ya malam hari saat mau bangun orang tuanya melihat tempat tidurnya ditempati atau tidak," kata dia.
Pencegahan kasus kejahatan jalanan yang masih terjadi di wilayahnya, kata dia, belum memerlukan penerapan kebijakan jam malam karena dikhawatirkan justru menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Aparat kepolisian, kata dia, harus mampu mengambil tindakan hukum kasus kejahatan jalanan secara tegas dan konsisten.
"Upaya lain saya belum menemukan wong juga nyatanya disel (dipenjarakan) juga tetap terjadi. Sekarang bagaimana keluarga itu bisa membangun konsolidasi sendiri tapi kalau kebebasan itu dilepas pergi, enggak pernah tempat tidurnya dilihat, mungkin tidak pernah pulang ya susah," kata dia.
Terkait wacana pengadaan sekolah khusus bagi anak yang terlibat kekerasan jalanan, Sultan mengaku masih mempertimbangkannya.
"Kalau ada sekolah khusus, apakah orang tua atau si anak mau. Dan persoalan sekian puluh tahun yang lalu sama sekarang kan beda. Saat ini (anak) cenderung lebih karena merasa bebas saja," kata dia.
Seperti diwartakan, Jajaran Polresta Yogyakarta telah mengamankan 15 pelaku kejahatan jalanan alias klitih yang aksinya viral di media sosial, dimana sembilan di antaranya berstatus anak bawah umur.
Para pelaku melakukan aksi penganiayaan terhadap korban berinisial N menggunakan tangan kosong ataupun ditendang.
Peristiwa ini diawali saat korban berinsial N dan kelompoknya yang menggunakan empat sepeda motor berpapasan dengan kelompok pelaku di Jalan HOS Cokroaminoto, Tegalrejo, Kota Yogyakarta pada Jumat (24/3) pukul 04.30 WIB dan kemudian saling mengumpat.
Kelompok pelaku yang mengendarai dua sepeda motor kemudian putar balik dan mengejar rombongan korban.
Sesampainya di Jalan Tentara Rakyat Mataram, Bumijo, Jetis, salah seorang dari rombongan pelaku melempar batu hingga membuat kendaraan yang ditumpangi N menabrak pot dan jatuh. Setelah jatuh, N kemudian dikeroyok.
Polisi menjerat para pelaku dengan Pasal 170 ayat 2 KUHP dengan ancaman maksimal 9 Tahun Penjara dan Pasal 80 ayat (2) Juncto Pasal 76 C Undang-undang No. 35 tahun 2014, tentang Perubahan Undang-undang No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman maksimal 5 Tahun Penjara.
(mdk/ray)