Curhat Buruh di Yogyakarta saat May Day: Susah dengan Gaji Kecil Bisa Beli Rumah
Sejumlah serikat buruh di Yogyakarta memperingati Hari Buruh atau May Day
Safariyanto menjelaskan banyak buruh lainnya yang juga bernasib sepertinya, harus tinggal menumpang di rumah orang tua ataupun mertua.
Curhat Buruh di Yogyakarta saat May Day: Susah Gaji Kecil Bisa Beli Rumah
Sejumlah serikat buruh di Yogyakarta memperingati Hari Buruh atau May Day yang jatuh setiap 1 Mei dengan menggelar aksi demonstrasi di beberapa titik seperti di Tugu Pal Putih hingga Titik Nol Kilometer.
- Modus Dua Bidan di Yogyakarta Lakukan Jual Beli Bayi sejak 2010, Pasang Tarif Rp55-85 Juta
- Modal Rp1 Juta, Ibu Rumah Tangga Asal Jakarta Kini Raup Untung Rp2 Juta Per Hari dari Berjualan Risoles Pelangi
- Buruh Geruduk Kantor Gubernur Bali Saat May Day, Desak Sistem Kerja Kontrak Dihapus
- Buruh Demo May Day di Patung Kuda, Desak Cabut UU Cipta Kerja dan Hapus Outsorcing
Rumah murah bagi buruh ini menjadi salah satu tuntutan yang didengungkan oleh buruh di Yogyakarta. UMP DIY yang hanya sebesar Rp 2,1 juta dianggap tak sebanding dengan mahalnya harga tanah di Yogyakarta.
Saat ini, harga rumah subsidi di DIY menembus angka Rp 160 juta. Rendahnya UMP DIY membuat para buruh harus gigit jari untuk bisa membeli rumah.
Buruh disalah satu perusahaan mebel di DIY, Safariyanto menyebut dengan gajinya saat ini Rp 2,4 juta, dirinya belum mampu membeli rumah meskipun itu merupakan rumah subsidi.
Safariyanto mengungkapkan dirinya memilih untuk tinggal bersama orang tua. Safariyanto menjelaskan banyak buruh lainnya yang juga bernasib sepertinya, harus tinggal menumpang di rumah orang tua ataupun mertua.
"Upah saya Rp2,4 juta. Itu tidak sebanding dengan harga rumah di DIY yang harganya gila-gilaan. Susah dengan upah seperti saya bisa beli rumah di DIY," kata Safariyanto di Titik Nol Kilometer, Kota Yogyakarta, Rabu (1/5).
Susah Beli Rumah
Safariyanto membeberkan kalaupun buruh mampu membeli rumah di DIY tentu harus mengangsur. Besaran angsuran atau cicilan dianggap Safariyanto sudah memakan separuh gajinya.
"Rumah bersubsidi itu rata-rata cicilannya Rp 900 ribu sampai Rp 1 juta setiap bulannya. Itu hampir separuh upah kami. Ya gak mampu kami mengangsurnya. Uang upah aja pas-pasan untuk hidup, kadang harus tombok tiap bulannya," ungkap Safariyanto.
"Harapan saya dan keluarga tentu punya rumah sendiri. Tapi ya harus mikir-mikir lagi karena kalau dipaksakan mengangsur untuk rumah, saya dan keluarga mau makan apa?" imbuh Safariyanto.
Senada dengan Safariyanto, buruh tekstil di DIY Maysaroh menceritakan kegetirannya tentang keinginannya memiliki rumah sendiri. Maysaroh yang tinggal di Kabupaten Bantul ini menyebut dirinya dan keluarga masih tinggal di rumah mertua.
Maysaroh menuturkan besaran gaji yang diterima sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Maysaroh mengungkapkan dirinya nyaris tak punya tabungan selama bekerja.
"Kalau harus KPR ya berat. Ini saja untuk kebutuhan harian, upah selalu habis. Saya bahkan gak punya tabungan. Kalau mengangsur rumah, uangnya darimana?" urai Maysaroh.
Maysaroh menambahkan dirinya harus mencari tambahan dengan berjualan online untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berjualan online ini dilakukannya selepas bekerja di pabrik.
"Ya udah usaha cari tambahan. Jualan online. Kemarin pas puasa juga cari tambahan jualan takjil. Tapi kalau suruh mengangsur beratlah. Mending tinggal di rumah mertua saja dulu," tutup Maysaroh.