Debat Dokter IDI Vs PDSI soal Penelitian Metode Cuci Otak Dokter Terawan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengkritisi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) yang ingin memfasilitasi penelitian lanjutan terapi Brain Washing atau cuci otak melalui metode Digital Substraction Angiography (DSA) yang digagas Terawan Agus Putranto.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengkritisi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) yang ingin memfasilitasi penelitian lanjutan terapi Brain Washing atau cuci otak melalui metode Digital Substraction Angiography (DSA) yang digagas Terawan Agus Putranto.
IDI mengatakan, PDSI secara tidak langsung mengakui bahwa terapi DSA belum sempurna. "Artinya PDSI juga mengakui terapi DSA Terawan belum sempurna, kenapa masih lanjut?" kata sumber internal PB IDI kepada merdeka.com, Senin (16/5).
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
-
Apa tujuan utama dibentuknya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat profesi dokter.
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Apa saja layanan medis yang dilayani oleh Dokter Terawan? "Prof Terawan Hanya melayani Tindakan Digital Substraction Angiography (DSA), dan Immunotherapy Nusantara," kata Okta.
-
Kapan PDRI dibentuk? Walaupun secara resmi radiogram Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:
-
Di mana Dokter Lo dirawat? Ia membenarkan jika dokter Lo Siauw Ging MARS saat ini sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu (RSKI) Solo.
Menurut sumber ini, jika metode terapi DSA masih dalam tahap penelitian, maka Terawan tidak boleh menarik biaya dari pasien. Justru sebaliknya, Terawan harus membayar pasien.
"Kalau masih dalam penelitian maka pasien tidak boleh ditarik bayaran, harusnya pasienlah yang dibayar," ucapnya.
Saat dikonfirmasi, Ketua Umum IDI Dokter Adib Khumaidi menolak menanggapi tentang bergabungnya Terawan dengan PDSI.
Jawaban PDSI
Menjawab hal itu, Ketua Umum PDSI, Brigjen TNI (Purn) Jajang Edi Priyanto mengatakan, organisasinya terbuka untuk semua penelitian. Menurut dia, penelitian ilmiah dokter memang belum ada yang sempurna. Termasuk metoda DSA milik Terawan.
"Semua inovasi kedokteran apapun ya belum sempurna, hingga perlu penelitian lanjutan untuk menyempurnakan sehingga bisa untuk gold standart terapi stroke," kata dia dihubungi terpisah.
Sementara perihal Terawan masih menarik bayaran kepada pasien, meski metodenya belum sempurna, Jajang menolak berkomentar. Menurut dia, hak IDI memiliki pandangan.
"Silakan saja IDI berpendapat, pasti melakukan pembenaran," kata dia.
Terawan resmi bergabung dengan PDSI sejak Jumat, 13 Mei 2022. Kini, mantan Menteri Kesehatan itu ditunjuk menjadi dewan pelindung PDSI. Pengukuhan dilakukan pekan depan.
Fasilitasi Metode Terawan
Jajang mengatakan, organisasinya akan memfasilitasi penelitian lanjutan DSA agar sempurna. Sehingga terapi DSA menjadi gold standart untuk kasus stroke.
"PDSI akan memfasilitasi penelitian, silakan yang lain lain mau meneliti, melengkapi, menyempurnakan yang sudah dilakukan oleh Dokter Terawan sehingga nanti bahwa DSA itu menjadi gold standar terapi misalnya untuk stroke dan lain-lain," ucap bekas staf ahli Terawan ini.
Terapi DSA Terawan sudah dikaji Satuan Tugas Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) Kementerian Kesehatan pada Juli 2018. Temuan Satgas Kemenkes menyatakan metode IAHF atau lebih dikenal ‘cuci otak’ ala Dokter Terawan tak boleh digunakan lagi.
Hasil Kajian Satgas Kemenkes
Dalam laporan tersebut, metode IAHF tidak layak untuk dijadikan terapi. Satgas Kemenkes tersebut meminta agar cara tersebut dihentikan di seluruh rumah sakit.
Dalam kesimpulan, dituliskan bahwa belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan kemanfaatan yang dapat menjadi dasar bagi praktik IAHF untuk tujuan terapi. Kemudian disebutkan, praktik IAHF untuk tujuan terapi tidak selaras dengan etika.
Laporan tersebut juga menyatakan, praktik IAHF untuk tujuan terapi berpotensi melanggar berbagai undang- undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
"Standar kompetensi untuk melakukan IAHF untuk tujuan terapi belum ada/belum disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia," tulis laporan tersebut, dikutip merdeka.com, Jumat (8/4).
Dalam laporan tersebut disebutkan, Satgas Kemenkes merekomendasikan, pelayanan kedokteran dengan metode IAHF untuk tujuan terapi dihentikan di seluruh Indonesia. Karena belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan manfaat IAHF.
Satgas juga menyatakan, diperlukan penelitian tentang IAHF untuk tujuan terapi dengan metodologi penelitian yang baik dan benar serta dengan dasar-dasar ilmiah untuk mendapatkan bukti efektivitas dan keamanan IAHF yang dapat diterima secara universal oleh dunia kedokteran.
Seorang sumber dari PB IDI menyatakan, kala itu Satgas Kemenkes dibentuk oleh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. Dalam rekomendasinya, metode IAHF hanya boleh dilakukan untuk penelitian.
"Ya sampai hari ini tidak ada laporan penelitiannya. Dibantu oleh Litbangkes, itu tidak dimanfaatkan. Jadi prinsipnya gini lah, kalau memang itu bermanfaat, terbukti secara ilmiah, seluruh komponen Indonesia harus mendukung. Termasuk IDI, pemerintah, ya kan?" kata sumber tersebut saat berbincang dengan merdeka.com.
Menurut dia, IDI sangat terbuka untuk meneliti bersama Dokter Terawan terkait metode tersebut. Agar bisa dibuktikan secara ilmiah. Dengan begitu, metode tersebut bisa bermanfaat bagi orang banyak.
Dia menegaskan, dalam ilmu sains, semua praktik pengobatan perlu dibuktikan secara ilmiah. Bukan dari testimoni orang per orang. "Tidak boleh testimoni. Ponari pun testimoninya ada perbaikan, benar enggak? Coba, itu kan testimoni, harus diukur. Gitu loh," tegas dia.
(mdk/rnd)