Membedah Akar Masalah Polemik Dokter Asing
Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendatangkan dokter asing menuai polemik. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak karena berbagai alasan.
IDI mengatakan, yang dipersoalkan saat ini adalah Kemenkes tidak melewati tiga mekanisme sebelum mendatangkan dokter asing untuk mengisi kesenjangan kebutuhan dokter di Tanah Air.
Membedah Akar Masalah Polemik Dokter Asing
Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendatangkan dokter asing menuai polemik. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak karena berbagai alasan.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) buka suara terkait polemik tersebut. Wakil Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto mengatakan, IDI sebetulnya mendukung dokter asing untuk transfer of knowledge atau alih teknologi.
IDI hanya menyoroti rencana Kemenkes mendatangkan dokter asing untuk mengisi kebutuhan rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang masih kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM).
"Kita membutuhkan dokter asing dari negara maju tapi untuk transfer knowledge dan teknologi. Kalau itu kita butuh. Misalnya untuk mengatasi transplantasi liver, Indonesia belum ada," kata Slamet saat berbincang dengan merdeka.com melalui sambungan telepon, Rabu (10/7).
Slamet mengatakan, yang dipersoalkan saat ini adalah Kemenkes tidak melewati tiga mekanisme sebelum mendatangkan dokter asing untuk mengisi kesenjangan kebutuhan dokter di Tanah Air.
Mekanisme pertama, memberdayakan dokter-dokter yang ada di Indonesia untuk didistribusikan ke daerah yang membutuhkan.
Slamet mengungkit sikap pemerintah yang hanya menyerap maksimal 20 persen dari dokter lulusan baru untuk didistribusikan ke daerah.
Sementara 80 persennya dibiarkan begitu saja. Sebanyak 80 persen dokter ini akhirnya memilih mengabdi di kota-kota besar.
Kedua, memberikan beasiswa atau ikatan dinas kepada dokter dalam negeri yang membutuhkan.
Jika upaya kedua ini belum juga mampu memenuhi kebutuhan dokter, maka Kemenkes bisa memilih opsi mendatangkan dokter diaspora.
"Kalau itu semua sudah dilakukan tapi tetap tidak bisa, apa boleh buat kan. Jadi dokter asing itu terakhir, mekanisme itu harus dilewati," tegas Slamet.
Slamet menambahkan, sebetulnya Indonesia tidak kekurangan dokter.
Kondisi yang terjadi hari ini adalah pemerintah tidak bisa mendistribusikan secara merata sehingga terkesan Indonesia kekurangan dokter.
"Kalau untuk kebutuhan, hitungan IDI kan sudah cukup jumlah dokternya. Tapi kan masalah distribusi," ucap dia.
Slamet meminta pemerintah segera mengeluarkan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Kesehatan terkait dokter asing.
"Pemerintah harus segera mengeluarkan aturan pelaksana UU Kesehatan terkait dokter asing, jadi aturannya jelas," ujarnya.
Jawab Kemenkes soal Dokter Dalam Negeri Tak Mau ke Daerah Terpencil
Slamet juga menjawab pernyataan Kemenkes bahwa dokter dalam negeri tak mau ke daerah terpencil. Hal ini menjadi salah satu alasan Kemenkes mendatangkan dokter asing.
Slamet mengatakan, dokter dalam negeri sebetulnya bersedia untuk mengabdi di daerah terpencil.
Asalkan, pemerintah mau memenuhi kesejahteraan dokter dan memberikan perlindungan keamanan.
"Kita harus memberikan hak-hak kepada mereka. Orang sekolah bayar sendiri, maka haknya harus dikasih. Kedua, harus ada jaminan keamanan, jaminan karir," ucap Slamet.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Azhar Jaya mengatakan, pihaknya sedang menunggu respons dari daerah terpencil yang membutuhkan sebelum mendistribusikan dokter asing.
Jika suatu daerah kekurangan, katanya, maka dinas atau rumah sakitnya melaporkan ke Kemenkes, kemudian mereka mencocokkan datanya sebelum mengirimkan dokter asing yang dibutuhkan.
"Kalau ternyata memang diperlukan dokter asing, ya apa boleh buat. Karena orang kita nggak ada yang mau," kata Azhar, dikutip dari Antara, Selasa (10/7).
Selain mengisi kekosongan dokter di daerah terpencil, lanjut Azhar, mendatangkan dokter asing bertujuan mentransfer ilmu ke dokter lokal.
Dia mencontohkan transfer ilmu dari dokter asing ke lokal seperti yang terjadi di rumah sakit. Dokter asing melakukan transplantasi jantung atau paru-paru, karena Indonesia belum pernah melakukannya.
Azhar menegaskan, merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, ada batasan waktu bagi para dokter asing melakukan transfer ilmu di Indonesia. Maksimal hanya dua tahun.