Demi pembangunan, pegawai Pajak rela tinggal di pulau terpencil
Jika ingin keluar dari Ranai, hanya ada transportasi pesawat yang biayanya lebih dari Rp 1 juta sekali jalan.
Berjuang demi pemerataan pembangunan, hal itu yang tersemat dan menjadi tanggung jawab Budi Utomo, seorang pegawai pajak yang bertugas di Kantor Penyuluhan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ranai berada di paling Utara selat Karimata dan berbatasan langsung dengan perairan internasional.
Sudah dua tahun lamanya, pria asal Yogyakarta ini harus rela meninggalkan keluarga tercinta demi bertugas di pulau terluar Indonesia agar terciptanya pemerataan pembangunan di Pulau Natuna.
Pak Budi, begitu dia biasa dipanggil, bertugas sebagai kepala kantor KP2KP Ranai yang memberikan penyuluhan kepada warga Ranai tentang betapa pentingnya membayar pajak. Penyuluhan dia lakukan dengan berbagai cara, mulai dengan mengumpulkan seluruh perangkat daerah untuk diberikan pemahaman dan penyuluhan tentang pajak, sampai dengan beriklan menggunakan radio atau menyebar pamflet serta majalah tentang pentingnya membayar pajak.
Tujuannya, agar masyarakat lokal sadar betapa pentingnya membayar pajak demi kesinambungan pembangunan negeri. Tidak hanya itu, Budi juga berkewajiban melayani dengan sabar dan penuh pengertian masyarakat lokal yang hendak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
"Dalam tugas penyuluhan ini banyak melakukan berbagai cara, disesuaikan dengan kondisi geografis dan karakter masyarakat setempat. Kemudian pemberian konsultasi, baik secara langsung maupun tidak langsung kita selalu siap berikan konsultasi, biasanya lewat telepon, e-mail, kita juga punya SMS setiap saat, siapapun yang menginginkan konsultasi melalui SMS," ujar Budi.
Tentu tugas dan tanggung jawab ini tak mudah dilakukan oleh Budi. Apabila dilihat dari letak geografis tempat dia bertugas, Ranai yang merupakan wilayah kepulauan dan berada jauh dari pusat ekonomi, bisnis perkotaan. Ranai juga sebuah kota yang memiliki akses jalur darat yang curam dan terjal.
Terlebih, pemahaman dan kesadaran masyarakat lokal tentang perpajakan masih sangat minim. Ditambah dengan bahasa keseharian penduduk Ranai yang menggunakan bahasa melayu Natuna mempersulit komunikasi yang harus dilakukan oleh Budi dalam menjalankan tugas.
Tinggal di daerah pelosok tanah air dengan cakupan wilayah kepulauan yang luas memiliki risiko yang sangat tinggi dalam menjalankan tugasnya.
Tak jarang saat hendak melakukan penyuluhan, dia harus melewati bukit terjal dan berliku, membelah hutan-hutan yang bersinggungan langsung dengan jurang yang curam.
Budi dan kedua anak buahnya, Grace Febriyanto Ginting dan Slamet Pasaribu harus menempuh waktu berjam-jam demi melakukan penyuluhan kepada masyarakat lokal Ranai.
Belum lagi jika bicara soal kehidupan sehari-hari yang harus dijalani di Ranai. Mereka harus tinggal di daerah yang belum dialiri listrik. Pemerintah daerah Natuna hanya mampu memberikan pelayanan listrik dengan menggunakan Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD) saat malam hari. Ketika siang hari, masyarakat pun harus rela menjalani aktivitas tanpa listrik. "Ini merupakan wilayah pulau terluar memang itu kendala yang dihadapi. Sehari-hari ketika jaringan listrik dan internet kadang tidak bisa optimal, setiap hari listrik mati, jaringan internet juga seperti itu, dengan minimnya listrik itu setiap hari terganggu. Memang problem wilayah seperti itu. Tapi kita jalankan dengan senang hati, seoptimal mungkin demi masyarakat Ranai," tutur dia.
Tanpa mal, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi dan hiburan seperti di kota besar juga menjadi pola hidup keseharian yang harus dijalani para pegawai KP2KP Ranai. Sungguh luar biasa hebat perjuangan Budi dan kawan-kawan demi terciptanya pemerataan pembangunan.
"Tidak ada hiburan di sini, paling-paling mancing, naik gunung Ranai," sambung Slamet yang juga sudah merasakan kehidupan di Ranai selama dua tahun.
Biaya hidup di Ranai pun jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan kota besar seperti Jakarta. Kendaraan umum yang tersedia bagi masyarakat bisa dihitung dengan jari. Sekali makan di warung-warung pinggir jalan sekalipun, harus merogoh kocek dua kali lipat dari harga di Jakarta. Wajar saja memang, untuk sampai ke Ranai, biaya transportasi pengantar barang-barang dan kebutuhan pokok tentu sangat mahal.
Kerinduan bagi para pegawai KP2KP Ranai pada keluarga pun semakin terasa ketika ongkos transportasi yang ada di sana pun tergolong mahal. Maklum, jika ingin keluar dari Ranai, hanya ada transportasi pesawat yang biayanya lebih dari Rp 1 juta sekali jalan.
Memang ada transportasi yang lebih murah, yakni dengan menggunakan kapal perintis. Tetapi, butuh waktu lebih panjang jika ingin pulang kampung lewat jalur laut. Untuk sampai ke Tanjung Pinang saja, harus bermalam dua hari di laut. Sementara, waktu libur hanya pada hari Sabtu dan Minggu.
"Kalau sudah rindu dengan ibu di rumah, yah paling telepon. Kalau pulang biaya mahal," jelas Grace yang demi menjalankan tugas di Ranai harus meninggalkan ibunya seorang diri di Medan.
"Dukanya, di sini sepi, jauh dari keluarga itu jelas," sambung Slamet.
Untuk itu Budi dan pegawai KP2KP Ranai lainnya harus berpikir berkali-kali jika ingin melepas rindu dengan sanak keluarga di kampung halaman.
Akan tetapi, kerja keras dan perjuangan tanpa pamrih tentu saja terus dilakukan oleh ketiganya meski harus merantau meninggalkan orangtua, istri dan anak di kampung halaman tercinta.
Benar saja, menurut data Kantor Pelayanan Pajak Tanjung Pinang yang menaungi KP2KP Ranai, tren kepatuhan wajib pajak semenjak KP2KP Ranai berdiri pada tahun 2009 terus meningkat dari tahun ke tahun.
APBD yang dihasilkan Kabupaten Natuna tahun 2012 mencapai Rp 1,2 triliun. Sementara tahun 2013, APBD Natuna meningkat tajam hingga Rp 1,5 triliun.
Pembangunan yang terjadi di Pulau Natuna pun terlihat meningkat. Meski berada jauh dari ibu kota negara dan provinsi, bukan berarti Pulau Natuna menjadi daerah tertinggal.
Di pulau seluas 3.420 Km persegi ini, sudah terbangun Masjid Agung Natuna nan megah, fasilitas RSUD Natuna yang tak kalah dari rumah sakit di perkotaan besar lainnya. Puskesmas bagi penduduk lokal pun bisa dibangun berkat pajak.
Pembangunan sekolah negeri dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat pun bisa dilakukan karena pajak, sehingga pendidikan bagi anak-anak penduduk lokal tercapai.
Infrastruktur bangunan yang meski terdiri dari perbukitan dan hutan, akses jalan yang ada di Pulau Natuna tergolong baik, karena telah menggunakan aspal layaknya kota besar.
Tak terbayangkan jika pulau Natuna yang kaya akan sumber daya alam ini tidak dikelola oleh para pegawai pajak seperti Budi, Grace dan Slamet.
Baca juga:
E-Nofa, sistem baru Ditjen Pajak cegah faktur pajak fiktif
Penyuluhan ke Badau, pegawai pajak habiskan 13 jam di jalan
Kisah Wagimin lewati jembatan ambruk saat penyuluhan ke Badau
Mengejar pajak di tengah Pulau Emas Hitam
Ruko Itu apartemenku, cerita tempat tinggal 20 pegawai pajak
Kisah penyuluhan pegawai pajak Ranai, membelah bukit arungi laut
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Kapan P.K. Ojong meninggal? Sebulan kemudian, Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
-
Bagaimana P.K. Ojong mengawali karier jurnalistiknya? Tahun 1946, ia mencoba untuk berkarier di bidang jurnalistik lalu bekerja di Star Weekly.
-
Bagaimana tanggapan Titiek Puspa atas kabar hoaks kematiannya? Titiek Puspa, meski santai, mengakui kesal karena berita palsu yang menyebutkan dirinya telah meninggal dunia.
-
Siapa yang bertapa di Desa Pajajar? Lokasi ini konon jadi tempat pertapaan Raja Prabu Siliwangi. Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi merupakan salah satu raja paling berpengaruh sepanjang masa kerajaan Sunda Pajajaran.
-
Kapan Alun-alun Pataraksa diresmikan? Pemerintah Kabupaten Cirebon meresmikan Alun-alun Pataraksa pada 10 November 2023.