Demokrat: Gunakan UU ITE Berlebihan, Bikin Kepercayaan Publik pada Polri Merosot
Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terbaru tentang penilaian masyarakat yang melihat aparat kepolisian semakin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politik dengan penguasa.
Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terbaru tentang penilaian masyarakat yang melihat aparat kepolisian semakin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politik dengan penguasa.
Menanggapi hasil survei tersebut, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan menilai, salah satu penyebab yang membuat penilaian masyarakat terhadap kepolisian menurun, lantaran penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terkesan berlebihan.
-
Kapan survei Litbang Kompas tentang citra Polri dilakukan? Mahasiswa Apresiasi Polri atas hasil survei Litbang Kompas baru-baru ini.
-
Kapan Polri mengatur pangkat polisi? Hal itu sesuai dengan peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
-
Bagaimana Polri meningkatkan kepercayaan publik? Sebelumya Kadiv Humas Polri Irjen Pol Sandi Nugroho mengatakan, bahwa kepercayaan publik terhadap Polri meningkat karena transformasi Polri melalui program Presisi (prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan) yang digagas oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
-
Kapan survei Indikator Politik Indonesia dilakukan? Survei tersebut melibatkan 810 responden dengan metode simple random sampling dan margin of error sekitar 3,5 persen.
-
Kenapa DPR mengapresiasi Polri dalam melakukan patroli siber selama Pilkada? Langkah antisipasi Polri ini pun lantas turut mendapat apresiasi dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Politikus NasDem tersebut berharap, Polri dapat bekerja maksimal dalam memantau kondusifitas ruang digital selama Pilkada, terutama terkait hoaks dan ujaran kebencian.
-
Apa tujuan dari survei Poltracking Indonesia? Tujuan survei untuk mengukur sejauh mana efektivitas langkah para kandidat dalam meningkatkan elektabilitasnya, serta sejauh mana pengaruh faktor eksternal di luar kandidat dapat mempengaruhi peta elektoral terkini.
"Kebebasan sipil, itu juga kan termasuk menyampaikan pandangan lewat media yakni para pekerja media atau jurnalis yang mungkin kita belum potret ternyata banyak mengalami soal juga. Termasuk teman dari kebebasan sipil yang melakukan advokasi mengenai demokrasi ini, dihantui oleh sikap aparat atas nama pandemi itu menggunakan UU ITE ini berlebihan," tutur Hinca dalam diskusi Indikator Politik Indonesia, Minggu (25/10).
Bahkan, ia menyayangkan tujuan awal mula pembuatan UU ITE dengan kondisi saat ini sudah mulai berubah. Dengan ditambahnya kata informasi menjadikan seolah-olah aturan ini sudah bergeser dari tujuan awalnya.
Menurutnya, saat ini UU ITE yang dibuat digunakan lebih ke untuk menangkap orang melalui sejumlah bukti screenshot maupun melempar hoaks. Padahal, katanya, UU ITE dirancang guna mengatasi tingginya angka terorisme di dunia yang banyak transfer uang melalui mekanisme non formal yakni transaksi elektronik.
"Tapi, belakangan pembahasan UU, di DPR dari transaksi elektronik berubah atau ditambah di depannya informasi. Informasi tentang transaksi elektronik dan kemudian seolah-olah dibacanya transaksi elektronik tentang informasi," tuturnya.
"Padahal, informasi itu kan oksigennya demokrasi, tentang resesi demokrasi itu menurut pengamatan saya mengadili informasi berdasarkan tadi itu. Membuat aparat penegak hukum menggunakannya, menurut saya berlebihan, karena kemudian kebebasan sipil dan menyampaikan pendapatnya jadi terganggu," sambungnya.
Bandingkan era SBY
Lebih jauh terkait survei tersebut, Politikus Demokrat turut membandingkan kebebasan sipil di masa pemerintahan SBY yang seharusnya dapat dijadikan pembelajaran dalam menjaga kualitas demokrasi.
"Di masa SBY, bisa jadi pelajaran sekalipun banyak begitu demonstrasi, tekanan dalam menyampaikan pendapatnya begitu keras. Tapi tidak satu pun yang kemudian berujung pada kriminalisasi dalam hal menyampaikan itu. Nah kalau dilihat belakangan, hal itu seperti diabaikan," tuturnya.
Oleh sebab itu, Hinca mengatakan bahwa kebebasan sipil sebagai bentuk negara demokrasi harus dijaga sebagai pilihan bernegara.
Sebelumnya, diketahui berdasarkan hasil survei publik menilai aparat saat ini makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politik dengan penguasa. Hal tersebut tercermin dari hasil survei lembaganya baru-baru ini.
Dalam survei itu, sebanyak 37,9 persen publik agak setuju dan 19,8 persen sangat setuju terkait hal tersebut.
"Kalau saya gabung agak setuju dan sangat setuju itu mayoritas, jadi variabel kebebasan sipil itu sepertinya belnya sudah bunyi nih, hati-hati," jelas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.
"Karena bagaimana pun ada ekspektasi pada Presiden Joko Widodo, beliau yang lahir di era reformasi menjaga warisan paling mahal reformasi yang paling mahal yaitu demokrasi," tambah Burhanuddin.
Namun di sisi lain, 31,8 persen masyarakat kurang setuju terkait pertanyaan tersebut. Kemudian terdapat 4,7 persen memilih tak menjawab.
Metode Survei
Survei dilakukan pada 24-30 September 2020. Menggunakan sistem wawancara telepon, alasannya, karena situasi pandemi corona. Survei menggunakan metode simple random sampling, dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.
Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak, dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.
Jumlah sampel yang dipilih secara acak melalui telepon sebanyak 5.614 data. Sedangkan, yang berhasil diwawancarai dalam durasi survei yaitu sebanyak 1200 responden. Margin of Error pada survei ini +2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
(mdk/rnd)