Dewan Pers buat barcode, saring media 'abal-abal' penyebar fitnah
Penyebaran paham radikalisme dan hoax kerap dilakukan oleh media 'abal-abal'. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pun telah berkali-kali memblokir media-media bermuatan negatif, termasuk 11 media mengandung unsur SARA.
Penyebaran paham radikalisme dan hoax kerap dilakukan oleh media 'abal-abal'. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pun telah berkali-kali memblokir media-media bermuatan negatif, termasuk 11 media mengandung unsur SARA.
Dewan Pers berupaya membendung keberadaan media-media tersebut dengan menyiapkan pembuatan barcode untuk media pers. Media pers adalah media yang memenuhi kode etik, azas pers sebagai ditetapkan dalam undang-undang, serta memenuhi standar perusahaan pers.
"Nantinya yang mendapat barcode hanya media cetak atau online yang tercatat sebagai perusahaan pers yang standarisasinya sesuai ketentuan yang ada di Dewan Pers. Untuk non pers, ya terserah itu bukan urusan kami," ujar anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, Jumat (6/1).
Dia menjelaskan, pembuatan barcode ini merupakan pelaksanaan Deklarasi Palembang 2010 saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Saat itu, ada empat peraturan Dewan Pers yang diratifikasi oleh sebagian besar pemilik media besar di Indonesia.
Empat peraturan inilah yang menjadi prioritas oleh media pers yaitu standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.
Rencananya, penggunaan barcode itu akan dilakukan saat HPN di Ambon tahun ini. Dengan adanya barcode itu, profiling media itu akan bisa diakses dalam database Dewan Pers dan bisa diketahui jatidiri perusahaan pers, alamat, penanggungjawab, redaksi, dan badan hukum. Keberadaan barcode itu juga akan memudahkan untuk memilah mana yang media pers dan mana media yang bukan pers.
JIka barcode sudah diberlakukan, yang tidak terdaftar di Dewan Pers berarti bukan media pers. Kalau melanggar, mereka tidak berada di wilayah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
"Selama ini kita temukan kecenderungan media non pers isinya tidak menaati azas-azas dan kode etik, tapi saat ada masalah maunya dianggap pers. Itu namanya penumpang gelap," tegasnya.
Terkait pemblokiran yang dilakukan Kemenkominfo, Imam mengungkapkan, setiap akan melakukan blokir, Kemenkominfo lebih dulu konfirmasi ke Dewan Pers. Menurutnya, kalau media pers tentu tidak akan diblokir, tapi diproses sesuai UU Nomor 40 tahun 1999.
"Intinya, kalau bukan media pers berarti wilayahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan itu ada UU-nya sendiri, jadi silakan media non pers diproses sesuai UU yang berlaku," pungkasnya.