Dewas KPK Seharusnya Beri Sanksi Tegas Firli Bahuri Sebagai Efek Jera Pimpinan
Pelanggaran yang dilakukan Ketua KPK seharusnya diganjar sanksi setimpal, lantaran berpengaruh terhadap integritas lembaga KPK.
Keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) dalam persidangan etik terhadap ketua KPK Firli Bahuri tengah menjadi sorotan. Sebab sanksi yang begitu ringan berupa teguran tertulis kepada Firli dinilai tak sesuai atas pelanggaran etik penggunaan helikopter.
Hal itu disampaikan, Research Manager Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Badiul Hadi dalam diskusi virual Kamis (24/6).
-
Bagaimana Firli Bahuri bisa menjadi Ketua KPK? Seperti diketahui, Firli terpilih secara aklamasi sebagai ketua KPK oleh Komisi III DPR pada 2019 lalu.
-
Siapa yang menggantikan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK sementara? Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara Nawawi Pomolango berpose sesaat sebelum memberi keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/11/2023). Sebelumnya Presiden Joko Widodo, melantik Nawawi Pomolango sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara.
-
Kapan Nurul Ghufron melaporkan Dewan Pengawas KPK? "Saya laporkan pada tanggal 6 Mei 2024 ke Bareskrim dengan laporan dua pasal, yaitu Pasal 421 KUHP adalah penyelenggara negara yang memaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kedua, pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP, itu yang sudah kami laporkan," ungkap Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/5).
-
Kenapa Nurul Ghufron melaporkan Dewan Pengawas KPK? Wakil ketua KPK itu menyebut laporannya ke Bareskrim Mabes Polri sehubungan dengan proses etik yang tengah menjerat dirinya karena dianggap menyalahkan gunakan jabatan.
-
Siapa yang memberikan kesaksian dalam sidang praperadilan Firli Bahuri? Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dihadirkan sebagai saksi dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
-
Bagaimana Nurul Ghufron merasa dirugikan oleh Dewan Pengawas KPK? "Sebelum diperiksa sudah diberitakan, dan itu bukan hanya menyakiti dan menyerang nama baik saya. Nama baik keluarga saya dan orang-orang yang terikat memiliki hubungan dengan saya itu juga sakit," Ghufron menandaskan.
Menurut Badiul, pelanggaran yang dilakukan Ketua KPK seharusnya diganjar sanksi setimpal, lantaran berpengaruh terhadap integritas lembaga KPK.
"Perkara pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPK adalah pelanggaran moral. Meskipun ini dianggap oleh Dewas adalah persoalan yang sepele, tapi seharusnya Dewas bisa memberikan sanksi yang lebih tegas sebagai efek jera bagi pimpinan lainnya," kata Badiul.
Menurutnya, dengan pemberian sanksi Dewas yang begitu ringan terhadap pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPK, bisa berdampak pada kepercayaan masyarakat yang mungkin menurun terhadap lembaga anti rasuah tersebut.
"Masyarakat juga jadi males ngeliatnya, maka saya kira ini menjadi catatan penting bagi KPK kedepan dalam menjalankan tugas-tugas pemberantasan korupsi. Maka jadi tantangan Dewas ke depan sangat berat, melihat dinamika politik yang melinhkup di KPK. Saru hal yang menarik artinya KPK harus mulai berbenah pada dalam dirinya," tuturnya.
Masalah Gaya Hidup
Pada kesempatan yang sama, Direktur Demokracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Yusfitriadi menyoroti permasalahan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri seharusnya sudah dibaca sejak dulu, karena itu memiliki hubungan dengan gaya hidup yang bersangkutan.
"Ini juga berpengaruh dari rekam jejak Presiden Jokowi dalam menyeleksi itukan tidak sederhana. Saya fikir untuk mengetahui Pak Firli itu kan bukan saat ini saja, yang namanya gaya hidup itukan diketahui sejak awal. Sehingga kemudian Jokowi memilih Ketua KPK Firli saat ini, yang gaya hidupnya tak sesuai," ujarnya.
Atas hal itu lah, ia mengkritik Presiden Jokowi yang sedari awal proses seleksi yang telah dilakukan terhadap seluruh calon-calon komisioner KPK, tanpa memperhatikan gaya hidup dari seluruh calon.
"Seharusnya itu menjadi pertanyaan orang, karena gaya hidup ya gaya hidup. Oleh karena itu kalau kemudian Jokowi tidak paham melihat gaya hidup Ketua KPK. Berarti Jokowi telah salah memilih ketua KPK, karena memiliki gaya hidup yang tidak relevan," tutur Yusfitriadi.
Ia pun meminta kepada Dewas KPK untuk memastikan bahwa gaya hidup setiap pimpinan maupun staf KPK haruslah merubah gaya hidupnya, agar kejadian seperti tidak kembali terulang.
Sanksi Ringan Bagi Ketua KPK, Bukan Hal Mengejutkan
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai bahwa keputusan sanksi yang sangat ringan oleh Dewas kepada Ketua KPK Firli Bahuri bukanlah suatu yang mengejutkan. Karena sedari awal gelagat putusan ringan sudah nampak sejak kasus pelanggaran etik ini mencuat ke publik.
"Tidak mengejutkan, karena kita dari awal melihat pada gelagat kasus ini akan dibuat sedemikian panjang untuk sebetulnya membuat perhatian publik terhindar dari persoalan ini," tutur Ray.
Walaupun, Ray mengatakan pemberian sanksi yang ringan oleh Dewas KPK membuat masyarakat kecewa. Seperti yang telah di sinyalir sejak awal bahwa keberadaan Dewas tidak akan bekerja secara optomal.
"Karena ia dibentuk oleh Presiden strukturnya juga tidak jelas karena antara KPK dan Presiden disitu ada Dewas yang lembaga tersebut pun tak diawasi dan hanya bertanggung jawab kepada Presiden," ujarnya.
Diketahui Dewas KPK memutuskan Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik terkait gaya hidup mewah karena menggunakan helikopter pada saat bepergian ke Baturaja, Sumatera Selatan. Firli dinyatakan melanggar Pasal 4 ayat 1 huruf n dan pasal 8 ayat 1 huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020, sanksi teguran tertulis dua berlaku selama 6 bulan. Selama 6 bulan, Firli tidak bisa mengikuti program promosi, mutasi, rotasi maupun pelatihan baik yang diselenggarakan di dalam maupun luar negeri.