Di tengah keterbatasan, perjuangan orang-orang ini bikin terharu
Rata-rata nasib mujur berprestasi justru didapatkan oleh orang yang kurang mampu bahkan keterbatasan fisik.
Indonesia punya banyak segudang manusia berprestasi. Bahkan rata-rata nasib mujur itu justru didapatkan oleh orang-orang yang tak mampu.
Dari yang tak punya biaya cukup untuk mengenyam pendidikan, hingga keterbatasan fisik yang dianggap selalu menjadi penghalang.
Nah, berikut beberapa cerita-cerita haru orang berprestasi meski hidupnya terbatas seperti dirangkum merdeka.com, Minggu (14/12) pagi:
-
Apa yang membuat kisah ini menjadi inspiratif? Kisah anak sopir berhasil lolos seleksi anggota Polri ini sontak mencuri perhatian publik.
-
Siapa yang menginspirasi dengan kisahnya? Perempuan 22 tahun itu baru saja mengikuti program Singapore-Indonesia Youth Leaders Exhange Program (SIYLEP). Dia didapuk menjadi Duta Pemuda Indonesia 2023 dan mewakili Provinsi Banten di Program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) yang diselenggarakan oleh Kemenpora RI. Kisahnya turut menginspirasi. Banten provinsi wisata dan budaya Disampaikan Sheila, dirinya bersama 34 perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia lainnya bertandang ke Singapura selama lima hari.SIEYLAP sendiri mengusung tema pariwisata yang dikenalkan secara maksimal oleh dirinya. "Sekaligus memperkenalkan tentang Banten dan mengenalkan potensi wisata Banten kepada delegasi Singapura.
-
Apa itu inspirasi? Inspirasi adalah tindakan atau kekuatan untuk melatih pengaruh yang mengangkat atau menstimulasi kecerdasan atau emosi.
-
Siapa yang terinspirasi oleh kisah Kukuh? Hidup pria asal Bekasi ini penuh berjuangan hingga akhirnya bisa sukses seperti sekarang.
-
Bagaimana kata-kata indah bisa menginspirasi kita? Dengan keindahan makna dan ucapan, kata-kata Bahasa Indonesia yang bermakna indah bisa menjadi inspirasi dalam menulis karya hingga pemberian nama.
-
Kenapa kata-kata berkelas ini bisa memberikan inspirasi dalam hidup? Kata berkelas bisa dibaca untuk memberikan inspirasi dan semangat dalam menjalani kehidupan.
Kisah haru anak pengemis berprestasi
Gubuk itu sudah reot. Tiangnya bahkan tak lagi berdiri sejajar. Atap dari daun rumbia pun sudah tak utuh. Setengahnya sudah rontok akibat lapuk termakan usia.
Dinding dari papan pun tak terpasang rapi. Jarak antar papan merenggang, bercelah seukuran tiga jari. Sehingga, apapun yang dilakukan di dalam gubuk itu dengan mudah terlihat oleh siapapun yang berada di luar.
Di gubuk selebar tiga depa itulah Nurliyah menghabiskan hari-harinya. Perempuan berusia 37 tahun ini sudah hidup 14 tahun di Desa Asan Kumbang, Kecamatan Ulee Glee, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, itu.
Tak ada listrik, begitu juga televisi. Penerangan satu-satunya ketika malam tiba hanyalah lampu minyak biasa. Namun warga miskin itu tetap semangat menjalani hidup. Bersama Irhana, anak semata wayang yang berusia 15 tahun, Nurliyah mencoba untuk tetap tegar.
"Rumah ini dibangun warga 14 tahun lalu. Namun sekarang sudah reot," kata Irhana dikutip dream.co dari Atjeh Post, Selasa 23 September 2014.
"Sekarang lagi musim hujan. Jadi kardus itu basah akibat hujan. Biasanya kardus ini mamak gunakan untuk menutup celah dinding jika malam tiba," tambah dia sambil menunjuk tumpukan kardus basah di gubuknya, Senin kemarin.
Di dekat pintu, beberapa helai baju yang dijemur terlihat basah. "Ini juga basah karena hujan semalam. Atap rumah setengah memang sudah jatuh," ujarnya pelan.
Menurut Irhana, rumahnya itu digunakan sebagai kamar tidur, dapur, tempat belajar, sekaligus untuk salat. "Kalau hujan ya bergeser ke sudut lain. Kalau terlalu deras ya tunggu di rumah tetangga atau emperan toko orang," kata siswi SMP Ulee Glee ini.
Biarpun dengan keterbatasan ekonomi, Irhana mengaku tetap bersekolah untuk masa depannya. Dia termasuk siswa berprestasi sehingga mendapat beasiswa pendidikan.
"Mamak biasanya mengemis di jalanan. Sedangkan Bapak tidak tinggal di sini karena sudah lama cerai," katanya.
Irhana berharap Pemerintah Aceh dapat memberikan bantuan rumah layak huni kepada dia dan orangtuanya agar tak lagi basah kuyup saat hujan turun.
Kisah Ahmad Faury, difabel yang gigih belajar kini jadi dosen
Semangat Ahmad Faury (31) pantas dicontoh. Meski dilahirkan dengan fisik tak sempurna, anak nelayan dari keluarga tak mampu ini pantang menyerah mengejar pendidikan tinggi dan menjadi akademisi.
Ahmad Faury lahir di Dusun I Desa Pematang Guntung, Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai, Sumatera Utara pada 11 Oktober 1983. Dia bungsu dari 7 bersaudara buah cinta pasangan Satrak (alm) dan istrinya, Ismaini (almh). Hanya, enam saudaranya meninggal sebelum dewasa.
Sejak dilahirkan, kondisi fisik Ahmad Faury jauh dari sempurna. Kedua lengannya tanpa tangan dan jari. Kedua kakinya juga buntung sebatas betis.
Fisiknya yang tidak sempurna tidak lantas membuat Ahmad Faury terus berkecil hati. Saya bersyukur saja. Semakin saya berinteraksi dengan orang, mudah-mudahan orang lain semakin bersyukur, katanya kepada merdeka.com, Jumat (12/12).
Rasa syukur Ahmad Faury berbuah manis. Dia mampu mengeyam pendidikan tinggi hingga ke jenjang S3. Padahal semasa hidup ayahnya hanya nelayan pencari kerang dan ibunya penganyam atap.
Si kecil Ahmad Faury memulai pendidikan formal di SD Negeri 2 Pematang Guntung. Layaknya siswa normal, dia lancar menulis. Meski tak punya jari dan telapak tangan, alat tulis dia pegang dengan kedua ujung lengannya.
Lulus dari SD, Ahmad Faury melanjutkan sekolah ke tingkat tsanawiyah dan aliyah di Pesantren Darul Mukhlisin, Sei Rampah, Serdang Bedagai. Tak berhenti sampai di sana, Ahmad Faury melanjutkan studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara (Sumut) di Kota Medan.
Pertama di Medan agak sulit karena semua jalan beraspal, kaki jadi sakit kalau saya berjalan. Untuk mengurangi sakit, saya pasang dengan tiga lapis kaus kaki, kata Ahmad Faury sambil menunjukkan bagian kakinya yang dibungkus kaus kaki hitam.
Meski kondisi fisiknya tidak sempurna dan terlahir sebagai anak nelayan miskin, Ahmad Faury tetap belajar dengan semangat. Dia beruntung karena mendapat sejumlah beasiswa dan banyak dibantu orang yang bersimpati kepadanya.
Perjuangan Ahmad Faury terbayar dengan kelulusannya pada 2006. Dia meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,51. Waktu diwisuda sedih juga, karena ketika itu ayah saya sudah tiada. Beliau meninggal saat saya kuliah, ucapnya.
Menyadari ketidaksempurnaan fisiknya, Ahmad Faury mantap ingin menjadi akademisi. Karena itu dia nekat melanjutkan studinya pada program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Setelah tahun pertama menimba ilmu di UGM, Ahmad Faury kembali mendapat berduka. Ibunya Ismaini berpulang. Alhamdulillah, saya yang menjadi imam saat salat jenazah ibu saya. Begitu juga waktu ayah saya meninggal, ucapnya.
Setelah sempat mengambil cuti pascameninggalnya sang ibu, Ahmad Faury meneruskan kuliahnya di UGM . Dia lulus pada 2010 dan berhak menyandang gelar Lex Legum Master (LL.M.).
Dari UGM, Ahmad Faury kembali ke IAIN Sumut sebagai dosen. Dia mengajar Hukum Pidana di sana sejak September 2010. Pemuda ini juga kerap diundang sebagai motivator.
Ahmad Faury tetap tidak berhenti menimba ilmu. Di tengah kesibukannya sebagai dosen, dia kini mengikuti program doktor di IAIN Sumut.
Een Sukaesih, guru yang lumpuh 27 tahun
Sungguh sangat besar pengabdian Een Sukaesih. Ibu guru ini sudah 32 tahun menderita penyakit Rheumatoid arthritis (RA). Penyakitnya itu juga yang membuatnya lumpuh selama 27 tahun. Namun, ia masih tetap bersemangat untuk memberikan yang terbaik untuk orang banyak.
Dirangkum dari berbagai sumber, Een Sukaesih tinggal di Dusun Batukarut, RT01 RW06, Desa Cibereum Wetan, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat. Warga mengenal baik sosok 'Ibu Guru' istimewa ini. Ya, karena ia seorang luar biasa, umumnya orang memberi di saat lapang, tetapi Een berbeda.
Dalam keterbatasannya, Een yang mencintai profesi guru itu selalu membantu menyiapkan masa depan orang lain dengan cara membagi ilmu dan kasih sayang, serta menjadi sahabat bagi anak didiknya.
Namun rupanya Tuhan menyayangi Een. Kemarin Jumat (12/12), Een akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumedang, Jawa Barat.
"Iya betul, Ibu Een sudah berpulang. Saat ini di ruangannya masih banyak sanak famili," ujar Andi, seorang petugas di RSUD Sumedang kepada merdeka.com.
Ibu guru yang dua kali bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengembuskan napas terakhirnya sekira pukul 15.20 WIB. "Tadi sekitar pukul 15.20 WIB," ujar Andi.
Selamat jalan Ibu Guru Een Sukaesih.
Raeni, anak tukang becak wisudawan terbaik Unnes ber-IPK 3,96
Gadis berkerudung bernama Raeni ini lulus dari jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Unnes. Sejak semester pertama, peraih Bidikmisi ini membuktikan, keterbatasan ekonomi bukan halangan meraih prestasi.
Dalam perjalanannya menempuh gelar sarjana, wanita yang lahir dari anak seorang tukang becak ini beberapa kali meraih nilai indeks prestasi (IP) sempurna, 4,00. Hingga akhir masa studinya, Raeni mempertahankan prestasi tersebut dan mengantongi nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) akhir 3,96.
Menurut Rektor Unnes, Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., pencapaian Raeni membuktikan, anak dari keluarga kurang mampu tidak memiliki halangan untuk bisa berkuliah dan berprestasi. Salah satu contohnya adalah Raeni.
"Kami sangat bangga dengan apa yang diraih Raeni. Anak-anak dari keluarga miskin akan segera tampil menjadi kaum terpelajar baru. Mereka akan tampil sebagai eksekutif, intelektual, pengusaha, bahkan pemimpin republik ini," kata Fathur.
Raeni dan orangtuanya juga sempat mendapat kesempatan untuk bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu masih menjabat sebagai presiden.