Didakwa Menyebarkan Berita Bohong, Aktivis KAMI Syahganda Nainggolan Ajukan Eksepsi
Syahganda didakwa atas dua pasal terkait kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian hingga menyebabkan aksi menolak Undang-undang Cipta Kerja berujung kericuhan.
Sidang dugaan kasus hoaks terkait Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law digelar hari ini di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. Sidang dengan terdakwa Aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahanda Nainggolan digelar secara virtual dengan agenda pembacaan dakwaan.
Syahganda didakwa atas dua pasal terkait kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian hingga menyebabkan aksi menolak Undang-undang Cipta Kerja berujung kericuhan. Dakwaan pertama pasal 14 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kedua pasal 14 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ATAU Ketiga pasal 15 UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
-
Kapan R.A.A Kusumadiningrat memimpin? Sebelumnya, R.A.A Kusumadiningrat sempat memerintah pada 1839-1886, dan memiliki jasa besar karena mampu membangun peradaban Galuh yang cukup luas.
-
Kapan KEK Singhasari diresmikan? KEK Singhasari berlokasi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, wilayah ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus sejak 27 September 2019.
-
Kapan Kadek Devi mendampingi suaminya? Kadek Devi menunjukkan pesona yang memikat saat mendampingi Dewa Yoga yang baru saja menyelesaikan Sespimmen 63 Polri di Lembang, Bandung.
-
Kapan Bandara Ngebul di Salatiga mulai ramai? Disebutkan bahwa pendaratan itu banyak berlangsung di medio 1940-an.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
-
Kapan HUT Kodam Jaya diperingati? Setiap tanggal 24 Desember diperingati HUT Kodam Jaya.
"Tindakan terdakwa adalah tindakan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana," kata JPU Arief Syafrianto membacakan dakwaan, Senin (21/12).
Adapun dua pasal itu berbunyi:
Pasal 14:
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15.
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Ajukan Eksepsi
Mendengar dakwaan tersebut, Syahganda dan penasehat hukum merasa keberatan dan akan mengajukan eksepsi. Terdakwa pun diberi waktu hingga 4 Januari untuk menyusun eksepsi tersebut.
"Kalau memang keberatan silahkan dibuktikan di persidangan saja," kata ketua tim JPU Syahwan.
Sementara itu, kordinator PH Syahganda, Abdullah Alkatiri mengaku keberatan atas dakwaan jaksa. Kliennya kata dia tidak menyampaikan kebohongan.
“Ini jelas-jelas berhubungan dengan kebebasan menyampaikan pendapat bagaimana jika orang menyampaikan pendapat dinyatakan pidana. Bahaya. Jadi saya katakan dakwaan ini menurut kami tidak sesuai dengan undang-undang dasar 45 khususnya pasal 28e ayat 2 dan juga undang-undang HAM yaitu undang-undang 29 1999,” kata Alkatiri.
Menurutnya, dakwaan JPU dalam pasal 14 ayat 1 ayat 2 dan sebagainya itu unsurnya bukan hanya bohong tetapi ada juga keonaran. Keonaran sesuai kamus besar bahasa Indonesia itu keributan. “Menurut kami ini bukan tindak pidana tetapi murni orang menyampaikan pendapat di muka umum,” tegasnya.
Dikatakan dia yang dimaksud keonaran adalah keributan. Dicontohkan dia jika ada orang teriak-teriak di dalam pasar ada kebakaran ada kebakaran terjadi keributan lari sana lari sini dan sebagainya itulah keonaran. “Atau orang di tepi pantai dia berteriak ada tsunami tsunami orang pada ribut atau di pesawat dia bilang ada bom itu kebohongan yang menimbulkan keonaran. Kalau kebohongan saja jadi harus diuji dengan undang-undang 45 dan undang-undang HAM,” ucapnya.
Dengan demikian pihaknya berpendapat dakwaan itu tidak tepat. Pasalnya kata dia perihal kebohongan harus dilakukan pengujian.
"Ya kita uji Apakah ini bertentangan dengan undang-undang dasar atau tidak karena pasal kebencian itu tidak ada yang ada hanya kebohongan lah bohong itu hakim tidak boleh mengambil kewenangan Tuhan yang menyatakan orang itu bohong atau tidak. Orang kalau dinyatakan bersalah, seandainya salah apakah dia harus bisa dihukum kan tidak ada aturan orang ngomong salah dihukum, seandainya, apalagi benar. Jadi kita uji. Kenapa kita masukkan ke undang-undang dasar dan UU undang-undang HAM karena masalahnya kemanusiaan. Masalah konstitusi bahwa dia menyampaikan pendapat dan itu sesuai dengan konstitusi,” tutupnya.
(mdk/gil)