Dolar menguat, ekspor mebel dan produk kerajinan di Solo lesu
Dengan demikian para pengusaha agar melakukan inovasi, kreasi dan pembaharuan produk.
Menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) secara global serta menurunnya daya beli masyarakat, membuat pasar ekspor mebel dan kerajinan Soloraya lesu. Penurunan nilai ekspor cukup signifikan, yakni antara 10-15 persen. Kondisi ini juga seiring dengan perlambatan perekonomian dunia serta melemahnya rupiah.
Meskipun menguatnya nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah digadang-gadang menjadi angin segar bagi eksportir namun kenyataannya hal itu tidak serta-merta menaikkan ekspor produk dalam negeri. Hal tersebut diakui Pengurus DPP Asosiasi Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), Muhammad David R Wijaya.
"Ada dua faktor yang menyebabkan ekspor produk dan kerajinan kita menurun cukup signifikan, yakni antara 10-15 persen. Yakni menguatnya nilai tukar dolar dan menurunnya daya beli masyarakat," ujar David saat dihubungi wartawan.
Untuk itu, dia mengimbau kepada para pengusaha agar melakukan inovasi, kreasi dan pembaharuan produk. Tak hanya itu, lanjut dia, pelaku usaha ini harus mampu menciptakan produk baru yang tidak terpengaruh dengan naiknya dolar.
"Para pelaku usaha harus bisa melakukan inovasi produk, karena pasar ekspor kita ada Eropa, Amerika, Jepang. Saya yakin jika ada inovasi produk ini akan banyak diterima di sana," tandasnya.
Kendati demikian, pihaknya meminta adanya keterlibatan pemerintah. Menurut dia, pemerintah harus mampu menggerakkan perekonomian dalam negeri.
"APBN saat ini belum sepenuhnya dibelanjakan. Padahal, 80 persen anggaran ini adalah proyek pemerintah. Kalau bisa dibelanjakan, pasti akan membantu pertumbuhan ekonomi dalam negeri," jelasnya.
Dia mencontohkan, APBN tersebut dibelanjakan produk lokal. Dengan demikian para pelaku usaha akan diuntungkan. Dia mengakui, secara global ekspor produk dan kerajinan Indonesia masih kalah jauh dibanding Vietnam dan Malaysia, atau baru 2 persen pasar dunia.
"Kebijakan yang dibuat pemerintah selama ini belum sepenuhnya memihak kepada para pelaku usaha. Ini penyebabnya," keluhnya.
Dia menyebut, selama ini tingkat suku bunga bank di Indonesia sangat tinggi jika dibandingkan negara lain. Jika di Indonesia berkisar antara 14-15 persen, di negara lain hanya 5 persen. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha kesulitan meningkatkan modalnya. Hal tersebut, tegas dia, harus menjadi bahan evaluasi pemerintah ke depan.