Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Diadili di Surabaya, Didakwa Terima Gratifikasi Rp23,5 Miliar
Eks Kepala Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Eko Darmanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Surabaya secara online, Selasa (14/5).
Eks Kepala Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Eko Darmanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya secara online,, Selasa (14/5).
- Terbukti Terima Gratifikasi, Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Divonis 6 Tahun Penjara
- Usai Dicopot Kemenkeu, Kekayaan Kepala Bea Cukai Purwakarta yang Mencapai Rp60 Miliar Bakal Diperiksa
- Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Disidang di PN Surabaya, Didakwa Gratifikasi dan TPPU Rp37,7 Miliar
- Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Segera Disidang Terkait Kasus Gratifikasi
Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Diadili di Surabaya, Didakwa Terima Gratifikasi Rp23,5 Miliar
Hasil Bisnis dan Warisan
Pengacara Eko merespons dakwaan itu seusai sidang. Mereka menyatakan uang gratifikasi sebesar Rp23 miliar yang didakwakan pada kliennya adalah hasil bisnis puluhan tahun.
Penasihat hukum Eko, Gunadi Wibakso mengatakan, apa yang dikatakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaan terkait dengan sejumlah uang gratifikasi adalah tidak benar. Dia menyatakan, sebagian besar adalah barang dagangan yang dirintis sejak puluhan tahun yang lalu, termasuk sejumlah mobil maupun motor Harley Davidson.
"Tidak benar itu (dakwaan). Sebagian besar adalah barang dagangan," tukasnya.
Soal sejumlah uang yang disebut sebagai gratifikasi, Gunadi menyatakan jika uang tersebut merupakan hasil bisnis yang dijalankan oleh terdakwa. Terkait sejumlah nama perusahaan yang disebut sebagai milik terdakwa, dia mengakui jika uang hasil bisnis itu memang digunakan untuk menampung hasil bisnis PT (Perseroan Terbatas) milik terdakwa. "Misalnya begini, beliau punya usaha jual beli Harley, join dengan beberapa pihak. Karena jual beli itu dinaungi oleh sebuah PT, maka transfernya tidak langsung tapi melalui PT," ucapnya.
DIa pun menegaskan, tidak hanya hasil bisnis saja yang menghasilkan cuan untuk terdakwa. Namun, ada sejumlah warisan yang diterima oleh terdakwa dari orang tuanya.
"Jadi tidak hanya bisnis, tapi juga ada sejumlah warisan," katanya.
Eko dijerat dengan pasal gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dia didakwa menerima uang dari para pengusaha dengan total nilai Rp23,5 miliar lebih selama menjabat.
Dakwaan terhadap Eko Darmanto ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Luki Dwi Nugroho. Dalam dakwaan disebutkan, jika terdakwa sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) telah menerima gratifikasi berupa uang keseluruhannya berjumlah
Rp23.511.303.640,24.
"Gratifikasi tersebut diterima dari beberapa pihak," ujarnya.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Eko menerima gratifikasi dari beberapa pihak antara lain: Andri Wirjanto sebesar Rp1,37 miliar, Ong Andy Wiryanto Rp6,85 miliar, David Ganianto dan Teguh Tjokrowibòwo sebesar Rp300 juta, serta Lutfi Thamrin serta M Choiril sebesar Rp200 juta.
Lalu ada juga berasal dari Irwan Daniel Mussry Rp100 juta, Rendhie Okjiasmoko Rp30 juta, Martinus Suparman Rp930 juta, Soni Darma Rp450 juta, Nusa Syafrizal melalui Ilham Bagus Prayitno sebesar Rp250 juta dan Benny Wijaya Rp60 juta.
Selain itu juga ada nama S Steven Kurniawan sebesar Rp2,3 miliar, Lin Zhengwei dan Aldo Rp204,3 juta.
Serta ada pengusaha yang tidak diketahui namanya memberi Rp10,9 miliar.
"Atau setidak-tidak sekitar jumlah itu, yang berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya yaitu penerimaan tersebut
berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Kantor Bea dan Cukai Kementrian Keuangan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya," tambah JPU.
Perbuatan terdakwa tersebut, tambahnya. merupakan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana itu diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Selain dijerat dengan pasal gratifikasi, terdakwa juga dijerat komisi antirasuah dengan pasal tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam kasus ini, terdakwa dianggap mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaannya merupakan hasil dari tindak pidana korupsi yaitu penerimaan gratifikasi, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan.
Tindakan itu dilakukan dengan cara membelanjakan atau membayarkan atas harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yaitu penerimaan gratifikasi tersebut atas nama sendiri atau pihak lain dengan maksud untuk menyamarkan asal usul harta kekayaannya karena tidak sesuai dengan profil penghasilan terdakwa sebagai pegawai negeri pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
"Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP," katanya.
Menanggapi dakwaan jaksa, pengacara terdakwa, Gunadi Wibakso mengaku tidak akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Ia pun lebih memilih untuk langsung melakukan pembuktian.
"Tidak (eksepsi) langsung dilanjutkan dengan pembuktian," ujarnya.