Firli Bahuri Kembali Dipolisikan Akibat Bawa Dokumen Korupsi DJKA Saat Sidang Praperadilan
Firli dilaporkan oleh Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki), Edy Susilo ke Polda Metro Jaya.
Firli dilaporkan karena membawa dokumen penyidikan KPK ketika sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
- Kasus Firli Bahuri 'Jalan di Tempat', Polda Metro Jaya dan Kejati DKI Digugat!
- Firli Bahuri Didesak Ditahan, Komisi III DPR Minta Polda Metro Jaya Segera Bertindak
- Firli Bahuri Kembali Dilaporkan atas Kasus Dokumen Korupsi DJKA Bocor, Begini Respons Kapolda Metro
- Reaksi Firli Usai Dipolisikan Buntut Bawa Dokumen Korupsi DJKA Saat Praperadilan
Firli Bahuri Kembali Dipolisikan Akibat Bawa Dokumen Korupsi DJKA Saat Sidang Praperadilan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Firli Bahuri kembali berurusan dengan hukum. Firli dilaporkan oleh Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki), Edy Susilo ke Polda Metro Jaya.
Laporan itu terdaftar dengan nomor LP/B/7588/XII/SPKT/POLDA METRO JAYA, 18 Desember 2023. Firli dilaporkan karena membawa dokumen penyidikan KPK ketika sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
“Kami telah membuat LP ke Polda Metro Jaya pada Senin, 18 Desember sore kemarin," kata Edy dalam keterangannya, Rabu (20/12).
Menurut Edy, tindakan Firli dan kuasa hukumnya Ian Iskandar memasukkan dan membawa dokumen dugaan suap eks pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) turut dipertanyakan.
Sebab, saat ini Firli telah dinonaktifkan sebagai Pimpinan KPK. Namun, patut untuk diselidiki apakah dokumen itu bagian yang dirahasiakan atau boleh dilihat dan milik publik.
"Kita minta penyidik Polda Metro memeriksa orang yang menggunakan dokumen KPK tersebut. Ada indikasi menyalahi ketentuan perundangan dan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan. Termasuk orang yang memberikan akses pemberian dokumen tersebut digunakan di luar lembaga perlu diperiksa nantinya,”
jelas Edy.
merdeka.com
Di sisi lain, Edy menilai soal dokumen DJKA merupakan dokumen terkait penyelidikan dan penyidikan kasus OTT yang tidak ada korelasi dengan kasus praperadilan dugaan pemerasan Firli.
Terlebih, dokumen DKJA adalah milik KPK, namun Firli bisa mendapatkannya sampai dijadikan sebagai bukti dalam praperadilan itu.
Atas tindakan itu, Firli diduga melanggar ketentuan Pasal 54 UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik junto Pasal 322 KUHP.
"Barang siapa yang mengakses, memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan, maka diancam pidana paling lama 2 tahun penjara, dan denda paling banyak Rp. 10 juta," ucap Edy mengutip Pasal 54 UU KIP.
Walau demikian, Edy menduga motif lain di balik dokumen DJKA yang disodorkan Firli. Salah satunya, ingin mencoba menekan Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto dengan menuding kedekatan dengan pengusaha asal Yogyakarta, Muhammad Suryo.
Dengan memanfaatkan tudingan kedekatan M. Suryo dan Karyoto yang pada saat itu sempat diisukan. Sebagai penggiringan opini yang tidak memiliki dasar, sebab tidak ada kaitan atas kasus praperadilan yang digugat.
"Kapolda Metro bisa berteman dengan siapa saja, sebatas hubungan silaturahmi. Kami yakin beliau profesional. Sementara bicara hukum itu bersifat verbal, jadi tidak kaitannya tidak akan mempengaruhi apa-apa? Justru dokumen itu tidak boleh mempengaruhi proses hukum dugaan pemerasan Firli terhadap SYL,"
papar Edy.
merdeka.com
Bukti Ditolak Hakim
Sebelumnya, hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Imelda Herawati menyatakan dokumen yang dibawa Firli tidak relevan dengan sidang praperadilan.
Sebab, dokumen yang disodorkan adalah kasus dugaan suap eks pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan
"Menimbang, oleh bahwa karena dalil-dalil posita yang mendukung petitum Pemohon sebagaimana terurai sebelumnya ternyata telah mencampurkan antara materi formil dengan materi di luar aspek formil," ucap hakim saat sidang, Selasa (19/12).
Hakim menyatakan bukti nomor P26 sampai P37 tidak relevan dengan sidang gugatan praperadilan. Bukti itu ialah dokumen terkait kasus dugaan suap proyek rel kereta api yang ditangani KPK dengan disebut telah menetapkan M. Suryo sebagai tersangka.
"Yang ditentukan secara limitatif menjadi kewenangan lembaga praperadilan ditandai pula dengan diajukan bukti tanda P26 sampai tanda P37 sebagai bukti yang tidak relevan dengan persidangan praperadilan a quo,"
ucapnya.
merdeka.com
Atas keputusan itu menjadi salah satu alasan bagi Imelda untuk menolak gugatan praperadilan atas penetapan tersangka yang diajukan Firli Bahuri, sesuai amar putusannya yang dibacakan saat sidang.
"Menyatakan praperadilan oleh pemohon tidak dapat diterima," ucap Imelda dalam amar putusannya.