Guru besar UGM usul GBHN kembali dihidupkan
Tanpa GBHN, pemerataan pembangunan Indonesia yang berkesinambungan dinilai bakal sulit terjadi.
Penghapusan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menentukan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dinilai sebagai kesalahan fatal. Jika kesalahan tersebut tidak segera dikoreksi, cita-cita bangsa menjadi ekonomi ketiga Asia diyakini hanya sebatas mimpi semata.
Sejumlah pakar yang tergabung dalam Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) mengusulkan agar GBHN dihidupkan kembali. Sebab, tanpa pedoman jangka panjang, pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan.
Ketua HIPIIS yang juga Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Sofian Effendi meminta agar penghapusan GBHN dikoreksi kembali. Karena, dia menilai, GBHN mampu menjadi jalan keluar terhadap ancaman di masa yang akan datang.
"Jika tidak dikoreksi, Indonesia akan menghadapi ancaman yang sangat besar yakni masuk dalam jebakan negara pendapatan menengah," ujar dia seusai mengikuti Seminar dan Kongres ke-9 organisasi tersebut di Solo, Jawa Tengah, Rabu (23/10).
Sofian mengaku usulan ini sudah disampaikan secara lisan kepada Ketua MPR, Sidarto Danusubroto yang hadir sebagai pembicara kunci pada seminar itu. "Saya tadi sudah sampaikan ke pak Sidarto. Dan beliau merespon positif dan meminta agar diajukan secara tertulis dan resmi kepada MPR RI," jelasnya.
Menurut Sofian, arahan pembangunan yang ditentukan presiden melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tidak akan cukup untuk membawa Indonesia maju. Karena RPJP terbatas pada masa jabatan presiden yang hanya bertahan lima hingga 10 tahun. Padahal rencana pembangunan membutuhkan waktu antara 20 hingga 30 tahun.
"Dibutuhkan kesinambungan, jika tidak diikat oleh otoritas yang lebih tinggi maka akan menjadi kesalahan yang fatal. Apalagi saat ini masa jabatan presiden, gubernur dan bupati atau wali kota tidak sama, Indonesia bukan lagi menjadi negara kesatuan tetapi sudah menjadi multi goverment," jelas dia.
Hal yang lebih gawat lagi, lanjut Sofian, di dalam RPJP dan RPJM tidak ditemukan nilai-nilai keadilan sosial. Akibatnya, pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat justru menciptakan kesenjangan sosial dan daerah.
Sementara itu, Ketua MPR RI, Sidarto Danusubroto, mengaku sudah mendengar usulan HIPIIS tersebut. Baginya, hal itu merupakan sumbangan pemikiran yang sangat berharga, karena berasal dari para pakar dan akademisi.
"Itu usulan yang bagus. Namun nasibnya tergantung pada sikap dan keputusan pemerintahan mendatang," pungkasnya.