Guru Besar UMM Kutip Abraham Lincoln: Kekuasaan Punya Sifat Adiktif, Berpotensi Merusak
Menurut dia, banyak pemimpin yang muncul sekarang tidak melalui proses alami. Muncul tiba-tiba hasil rekayasa politik.
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Arifin menilai, rapuhnya etika penyelenggara negara karena proses kaderisasi pemimpin yang tidak berjalan.
Menurut dia, banyak pemimpin yang muncul sekarang tidak melalui proses alami. Muncul tiba-tiba hasil rekayasa politik.
- Ulama hingga Pengurus Masjid Deklarasi Dukung Abdul Wahid-SF Hariyanto, Ini Alasannya
- Ketua MUI Usul Gelar Silaturahmi Nasional Tokoh Politik Usai Pemilu 2024
- Silaturahmi ke 18 Pesantren di Medan, Mahfud: Berpolitik adalah Satu Tugas Mulia
- Ndaru Habib Luthfi Dukung Prabowo-Gibran, TKN: Guru Sudah Kasih Arahan Wajib Diikuti
Hal itu diungkpakan dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk Kerapuhaan Etika Penyelenggara Negara :Etika Sosial dan Pendidikan yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Senin (2/9) lalu.
"Pemimpin yang sebenarnya diproyeksikan untuk mengambil alih peran dan menjaga, dan mengatur dengan kemampuannya. Akan tetapi, saat ini faktanya banyak orang yang datang secara tiba-tiba dengan adanya rekayasa dan kemudian diusulkan menjadi pemimpin," kata Syamsul.
Menurutnya, fenoma ini mengonfirmasi pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln yang menyebut karakter seseorang bisa dilihat saat diberi kekuasaan. Pergeseran paradigma kemunculan pemimpin ini menunjukkan adanya pengaruh negatif kekuasaan terhadap etik.
“Kekuasaan memiliki sifat adiktif dan potensi merusak (corruptible),” ujarnya.
Rendahnya Empati
Hal lain disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Studi Budaya dan Perubahan Universitas Muhammadiyah Surakarta Yayah Khisbiyah.
Menurut Yayah, adanya kerapuhan etika berkaitan dengan rendahnya tingkat empati masyarakat Indonesia.
Hal itu dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada 2007 dan 2017 terhadap 4 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Jerman, dan Israel.
Penelitian yang melibatkan anak usia taman kanak-kanak (TK) itu menunjukkan, Indonesia berada di barisan bawah, bahkan di bawah Malaysia.
“Rendahnya empati ini berkaitan dengan korupsi terjadi di semua lini di Indonesia,” ujarnya.
Rendahnya empati dan maraknya kasus korupsi, lanjut Yayah, juga berkaitan dengan teori psikologi bernama dari triad. Teori itu mengidentifikasi individu dengan tiga sifat kegelapan, yaitu narsisme, perilaku manipulatif, dan sifat psikopat yang berkaitan dengan lemahnya empati.
Bersama dengan BPIP, Yayah sempat membuat model pembelajaran Pancasila yang lebih aplikatif untuk perguruan tinggi agar mengurangi permasalahan etika tersebut.
“Pendidikan Pancasila pada era sekarang harus dilakukan oleh dengan pendekatan yang mudah diakses dan tidak membosankan khususnya berfokus pada revolusi mental. Perguruan tinggi banyak yang berminat dengan pendekatan ini,” ujarnya.