Hari Santri, pejabat diminta meneladani sifat dan perjuangan santri
Hari Santri jangan dipandang dalam arti sempit, namun sebagai sebagai entitas kultural dan entitas historis.
Presiden Jokowi telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Dalam Keppres tersebut berisi ketetapan bahwa setiap tanggal 22 Oktober akan diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Hal tersebut merupakan pelunasan Presiden Jokowi terhadap janjinya di masa kampanye pencalonan presiden 2014 silam.
Menanggapi hal tersebut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menyepakati adanya penetapan Hari Santri Nasional. Meski begitu Ray berharap agar Hari Santri dipandang tidak dalam arti sempit, namun sebagai sebagai entitas kultural dan entitas historis.
"Kalau dikontekskan dengan era sekarang sih menurut saya watak santri kan terkenal dengan kemandirian, jujur, tidak korup, hidup dengan keprihatinan, pandai bersosialisasi dengan masyarakat, menghormati orang lain, hidup sederhana. Saya pikir watak kultural yang seperti itu yang tentu sangat relevan untuk diteladani bangsa ini. Kan itu yang dibutuhkan bangsa ini. Itu kan relevan bagi bangsa ini nilai-nilai semacam itu," kata Ray saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (23/10).
Dengan demikian, menurut Ray, ciri khas para santri tersebut bisa diteladani lintas agama. Sebab, watak santri bisa diteladani dan akan berdampak baik bagi perkembangan sosio kultural di Indonesia.
"Bagaimana para santri memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ini juga tidak kalah besarnya. Boleh-boleh aja ditetapkan itu hari santri. Tapi jangan dipandang sebagai eksklusifitas dari para santri. Itu dilihat saja sebagai mengingatkan kita kepada santri. Suatu realitas masyarakat yang hidup di dalam tradisi tersendiri. Jangan dipandang itu sebagai kelompok eksklusif," tuturnya.
Ray menolak bagaimana Clifford Geertz memandang santri secara simbolik sebagai kelompok eksklusif. Tak seperti wacana yang dimunculkan Clifford Geertz, kaum santri bukanlah kelompok yang menolak pengaruh dari luar. Meski punya jati diri sendiri, namun mereka justru berupaya menempa diri agar bisa melebur dengan komunitas di luar dirinya.
"Jangan kayak Clifford Geertz yang mengkategorikan itu sebagai kelompok masyarakat tertentu. Saya pikir pengertian santri tidak lagi spesifik. Santri itu hanya semacam identitas dari kultural sebagian masyarakat kita yang punya kontribusi dalam memperjuangkan bangsa ini. Kalau dipandang seperti clifordzer jadi semacam kelompok sosial tertentu, pasti kelihatan eksklusif. Tapi kalau dilihat semacam entitas bukan kelompok beragama, tapi kultural Indonesia, menurut saya tidak terlalu menjadi masalah," terangnya.
Maka dari itu yang terpenting dari Ray mengenai bagaimana merayakan Hari Santri Nasional tersebut. Bisa dirayakan sebagai sebuah ruang untuk merenungkan perjuangan, kontribusi, maupun sifat santri. Di sisi lain Ray mengakui kemungkinan ada motif politis dari Presiden Jokowi untuk memobilisasi massa santri. Hal tersebut tidak bisa dihindari ketika negar mencoba ikut camppur.
"Tidak ada arah untuk memecah belah masyarakat. Apa bedanya hari santri dengan hari buruh, hari ayah, hari ibu? Makanya lagi-lagi saya bilang hari santri itu harus dilihat dalam kerangka atau pendekatan baru. Santri itu sekarang lebih kultural yang boleh jadi mereka tidak bersekolah di pesantren tapi bisa dinamakan santri kalau dilihat dari cara kultural dia. Tahlilan misalnya, sekarang kan gak hanya santri wartawan kan Tahlilan juga," pungkasnya.