Harmonisasi Regulasi Diperlukan untuk Akhiri Polemik Sawit
Pemerintah diminta tidak terperangkap dan perlu menahan diri dengan tidak membuat pernyataan kontroversi, yang dapat membuat citra komoditas sawit semakin terpuruk di pasar global.
Pemerintah diminta tidak terperangkap dan perlu menahan diri dengan tidak membuat pernyataan kontroversi, yang dapat membuat citra komoditas sawit semakin terpuruk di pasar global.
Hanya saja karena sudah terlanjur, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu bijaksana, dan menjelaskan regulasi yang dipergunakan sebagai dasar kebijakan untuk penyebutan sekitar 81 persen perkebunan sawit tidak mematuhi tata kelola sawit dan harus mengakhiri polemik tersebut.
-
Apa yang menjadi salah satu solusi untuk kemacetan di Jakarta? Wacana Pembagian Jam Kerja Salah satu ide yang diusulkan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono adalah pembagian jam masuk kerja para pekerja di Jakarta. Menurutnya, cara itu bisa mengurangi kemacetan hingga 30 persen.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Dimana lokasi wisata Kota Tua Jakarta? Kota Tua terletak di Jakarta Pusat, wilayah utara.
-
Dimana saja lokasi kemacetan yang paling parah di Jakarta? Kondisi kemacetan lalu lintas kendaraan pada jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta
"Ini bukan soal benar atau salah, tapi harus dilihat dan dipertimbangkan dasar regulasi yang dipakai, agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki. Apalagi semua regulasi tidak berlaku surut. Di sisi lain, pemerintah tengah bekerja keras membangun kampanye positif sawit di pasar global," kata Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani. Dikutip dari Liputan6.com,Senin (26/8).
Manggabarani mengungkapkan, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma ada sejak tahun 2007 seiring terbitnya Permentan No 26/2007. Permentan itu mengacu kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi.
"Jadi swasta yang membangun kebun sebelum tahun 2007 tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan tersebut tidak berlaku surut. Sayangnya, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan tersebut," terang Mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) tersebut.
Persoalan lain, kata Manggabarni, kewajiban plasma 20 persen punya telaah dan versi yang berbeda-beda antara instansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20 persen dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.
"Persoalan ini juga menjadi tidak mudah, karena Kementerian Pertanian mensyaratkan lahan plasma harus berada luar HGU. Padahal untuk mencari lahan di luar HGU yang clear and clean bukan persoalan yang mudah karena adanya ketimpangan penguasaan lahan," ungkapnya.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Regulasi yang terbit belakangan, kata Manggabarani, ikut memicu persoalan baru di perkebunan sawit. Sejak awal, kebun sawit berasal dari Area Penggunaan Lain (APL) yang kemudian disertifikatkan menjadi HGU. Persoalannya, tiba-tiba muncul usai regulasi kehutanan yang mengubah tata ruang dan menetapkan kawasan HGU tersebut menjadi hutan lindung.
"Konflik seperti ini terjadi di banyak provinsi, salah satunya Kalimantan Tengah. Kalau masalahnya seperti ini siapa yang mau disalahkan. Hingga kini masalah tersebut belum punya solusi," bebernya.
Manggabarani berpendapat, jika sejak awal perkebunan sawit berdiri di atas kawasan hutan lindung, hal itu jelas merupakan persoalan hukum. "Tapi kalau perkebunan sawit yang ada sudah bersertifikat dan ada jauh sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung, pemerintah perlu tegas dan punya solusi dan tidak saling menyalahkan," sarannya.
Menurutnya, sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) juga menjadi komitmen dari perkebunan sawit di Indonesia untuk melakukan penanaman secara berkelanjutan. Hingga kini, setidaknya ada 3-4 juta hektare perkebunan sawit besar telah bersertifikat ISPO.
"Untuk mendapatkan sertifikat ISPO, banyak persyaratan yang harus ditaati termasuk lahan yang clear and clean. Karena itu, klaim 81 persen perkebunan tidak mengikuti tata kelola perkebunan sawit agak diragukan, karena tidak sejalan dengan kebijakan lain yang diberlakukan Pemerintah melalui ISPO," ujar Manggabarani.
Manggabarani mengingatkan, pemerintah perlu melakukan harmonisasi antara regulasi agar tidak saling bertabrakan dan menahan pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi. Membangun citra positif sawit di dalam negeri seharusnya menjadi prioritas di tengah tekanan pasar global terhadap industri sawit Indonesia.
"BPK seharusnya bisa memanggil perusahaan-perusahaan yang dianggap melanggar sejak awal menemukan adanya indikasi pelanggaran sehingga masalahnya tidak melebar," tambahnya.
Terpisah, pengamat hukum kehutanan dan lingkungan DR Sadino mempertanyakan tolak ukur penetapan baik dan tidak baik untuk perusahaan perkebunan.
BPK seharusnya punya standar perkebunan yang baik sebelum menjustifikasi pernyataan yang bisa memicu kontroversi publik. Di sisi lain, BPK perlu memahami bahwa banyak regulasi terkait sawit yang tidak harmonis.
"Ini yang pertama harus dibenahi dan bukan membuat pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi. Jangankan swasta, perusahaan negara saja bisa kacau balau jika regulasinya tidak konsisten," kata Sadino.
BPK, lanjut Sadino perlu menjangkau semua regulasi dan tidak hanya menjadikan satu atau dua regulasi sebagai pijakan. "Pendapat BPK dengan mengkaji semua regulasi juga harus komprehensif agar tidak menimbulkan salah tafsir."
Sadino mengingatkan, tumpang tindih perizinan disebabkan regulasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, banyak kawasan yang dulunya ditetapkan sebagai budidaya dengan terbitnya regulasi baru tiba-tiba ditetapkan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi. "Ini polemik berkepanjangan yang tidak bisa digeneralisir sebagai kesalahan. Apalagi asumsinya hanya menggunakan sampling," kata Sadino.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan sebanyak 81 persen industri sawit tak mematuhi pengelolaan sawit yang benar.
Hal itu ia sampaikan di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta Pusat saat menghadiri rapat soal pengelolaan kebun kelapa sawit.
"Hasil bank dunia, maupun BPK sama angkanya, kira-kira 81 persen itu tidak memenuhi ketentuan yang berlaku baik mengenai jumlah luasan, area, ISPO, plasmanya. ada 5-6 kriteria yang tadi disampaikan anggota BPK Rizal itu tidak dipenuhi," tuturnya di Jakarta, Jumat (23/8).
Baca juga:
Menko Luhut: 81 Persen Industri Sawit Tak Penuhi Ketentuan yang Berlaku
Luhut: Negara Barat Sangat Butuh Kita dalam Pengurangan Emisi
Permintaan Banyak, PT JAS Mulia Rutin Ekspor Palm Kernel ke Malaysia
Airlangga: Tak Perlu Mengemis ke Negara Lain untuk Naikkan Harga CPO
Jokowi Ingin Indonesia Bisa Produksi Avtur dari Kelapa Sawit
Menko Darmin: Avtur dari CPO Kelapa Sawit Bisa Digunakan di 2021