Harvey Moeis Pertanyakan Kerugian Lingkungan di Kasus Korupsi Timah Rp271 Triliun
Harvey mempertanyakan perhitungan kerugian lingkungan atas kasus timah yang mencapai Rp271 triliun.
Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) mempertanyakan perhitungan kerugian lingkungan atas kasus timah yang mencapai Rp271 triliun.
Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, ahli lingkungan menghitung kerugian negara hingga menghasilkan kerugian lingkungan senilai Rp271 triliun dengan hanya melakukan kunjungan ke lapangan sebanyak dua kali untuk mengambil 40 sampel dari luas tanah 400.000 hektare.
- Reaksi Harvey Moeis Usai Didakwa Rugikan Negara Rp300 Triliun di Kasus Timah
- Korupsi Timah Harvey Moeis: Potensi Kerugian Negara Rp271 Triliun Setara 3,5 Kali Lipat Anggaran Bansos Pemerintah
- Harvey Moeis Terseret Korupsi Rugikan Negara Rp271 Triliun, Bos PT Timah Ungkap Rugi Rp450 Miliar di 2023
- Harvey Moeis Ditahan usai Terseret Kasus Korupsi Timah Rp271 Triliun, Sudah Dijenguk Sandra Dewi?
"Dari sisi teknologi, juga hanya memakai software gratisan dengan ketepatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun, hasilnya keluar angka kerugian negara terbesar sepanjang Republik Indonesia ini berdiri," kata Harvey saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (18/12).
Harvey lantas membandingkan dengan pengalamannya melakukan eksplorasi di tambang batu bara. Untuk satu pit (lubang) yang berukuran 10 hektare, biasanya pihaknya bisa mengebor dengan rapat setiap 5 meter sampai 10 meter.
Dengan demikian, sambung dia, kira-kira bisa lebih dari 1.000 titik untuk menghitung jumlah cadangan di area 10 hektare dan dari luas tersebut terkadang masih ditemukan kesalahan.
Dia menjelaskan bahwa angka Rp271 triliun berasal dari perhitungan ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Menurut dia, nilai tersebut bukan kerugian negara dalam bentuk tunai, melainkan kerusakan alam.
"Namun, yang mencuat di publik seperti ada pihak yang merasakan keuntungan sebesar Rp271 triliun tersebut," ungkapnya, dilansir Antara.
Soroti Kesaksian Ahli BPKP
Harvey juga menyoroti kesaksian ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang tidak menjalankan audit sesuai dengan standar audit pada umumnya, tetapi menjalankan audit khusus, yaitu hanya mengaudit berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dan hanya dari data yang diberikan oleh penyidik.
Dia menyebutkan auditor BPKP hanya memakai data satu tabel Microsoft Excel yang dibuat oleh staf PT Timah Tbk. pada bulan Mei 2024 dengan keterangan ‘dibuat untuk kepentingan penyidik Kejaksaan Agung’.
"Data ini satu-satunya acuan untuk mengambil kesimpulan kalau harga kerja sama sewa-menyewa smelter kemahalan serta membuat 24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan," ujar Harvey menambahkan.
Dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022, Harvey dituntut agar dijatuhkan pidana penjara selama 12 tahun serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Selain itu, Harvey juga dituntut agar dikenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider pidana penjara selama 6 tahun.
Harvey dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.