ICJR Kritik Pasal Masa Percobaan Terpidana Mati RKUHP: Muncul Fenomena Deret Tunggu
Data ICJR per Januari 2022, saat ini ada 79 orang terpidana mati yang telah duduk dalam deret tunggu terpidana mati selama 10 tahun.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik pasal 100 ayat 1 RKUHP tentang masa percobaan terpidana mati. Peneliti Iftitah Sari mengatakan masa percobaan 10 tahun tersebut memunculkan fenomena deret tunggu.
Fenomena ini, menurut dia, menimbulkan masalah baru bagi terpidana mati berupa penyiksaan, baik fisik maupun mental. Data ICJR per Januari 2022, saat ini ada 79 orang terpidana mati yang telah duduk dalam deret tunggu terpidana mati selama 10 tahun.
-
Kapan KM Rezki tenggelam? Peristiwa tenggelamnya KM Rezki diperkirakan terjadi sekira pukul 13.25 WITA, Sabtu, 2 Desember 2023.
-
Apa yang ditemukan oleh KPK di kantor PT Hutama Karya? Penyidik, kata Ali, mendapatkan sejumlah dokumen terkait pengadaan yang diduga berhubungan dengan korupsi PT HK. "Temuan dokumen tersebut diantaranya berisi item-item pengadaan yang didug dilakukan secara melawan hukum," kata Ali.
-
Kapan HUT Kopassus diperingati? Kopassus didirikan pada tanggal 16 April 1952. Selamat ulang tahun ke-72, Kopassus!
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan HUT Kodam Jaya diperingati? Setiap tanggal 24 Desember diperingati HUT Kodam Jaya.
-
Kapan HUT RI ke-79 diperingati? Menjelang HUT RI ke-79 pada tahun 2024, logo dan tema yang dipilih memiliki makna mendalam yang menggambarkan esensi perjuangan dan aspirasi bangsa Indonesia di era kontemporer.
"Fenomena deret tunggu adalah suatu bentuk penyiksaan bahwa munculnya penyiksaan mental dan fisik yang dialami terpidana mati," kata Ifitah dalam webinar, Selasa (24/5).
Iftitah mengungkapkan, masa percobaan 10 tahun membuat kondisi terpidana mati semakin buruk karena masa tunggu yang panjang. Ditambah lagi, tempat tahanan yang kurang memadai dan tidak adanya fasilitas kesehatan fisik dan mental yang diberikan.
"Masa tunggu yang panjang dan tidak pasti berada dalam kondisi mental dan psikologi yang gelisah dan ketakutan dan selain itu diperburuk dengan tempat penahanan menjalani pidana tunggu yang kurang memadai," ujar dia.
Berdasarkan penelitian Komnas HAM 2020, kata Iftitah, percobaan masa tahanan 5 tahun saja sudah cukup untuk melakukan pembinaan dan penilaian. Apakah hukuman pidana mati seseorang layak dianulir atau tidak.
"SOP di pemasyarakatan itu ternyata masa 5 tahun itu untuk menilai apakah ada perubahan perilaku atau tidak. Jadi capaian untuk pembinaan itu masa waktu 5 tahun sudah cukup," ujar Iftitah.
Oleh sebab itu, Iftitah mengatakan rumusan pasal 100 terkait masa percobaan terpidana mati itu belum bisa dijadikan jalan tengah atas perdebatan pihak-pihak yang pro dan kontra hukuman mati.
"RKUHP terkait rumusan 10 tahun masa percaobaan pidana mati apakah menjawab masalah fenomena deret tunggu? Menurut kami hal tersebut belum cukup belum sampai standar menjadi jalan tengah yang kami sama-sama komitmenkan," tutup dia.
Sebagai informasi, rumusan RKHUP memberikan kesempatan bagi seseorang lolos dari hukuman pidana mati. Syaratnya terpidana matu tersebut menyesal, berkelakuan baik selama masa percobaan 10 tahun.
"Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun jika terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau ada alasan yang meringankan," bunyi pasal 100 ayat 1 RKUHP.
Kemudian, pada pasal 100 ayat 4 menyebutkan, pidana mati dengan masa percobaan harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Masa percobaan 10 tahun dimulai 1 hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
"Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung," demikian bunyi Pasal 100 ayat 4.
(mdk/ray)