ICW: Putusan MK Menghendaki Model Baru Pemberian Remisi
Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan, karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIX/2021 tidak menghapus pembatasan remisi bagi narapidana korupsi.
"Mahkamah bukan membuka remisi untuk narapidana korupsi, tetapi menghendaki model baru pemberian remisi," kata Kurnia, di Jakarta, Rabu,
-
Apa yang menjadi dasar penangkapan tersangka HW terkait korupsi di PT IMS? Penyidik Kejati Jatim telah menetapkan tersangka HW berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor KEP-541/m.5/Fd.2/12/2023 Tanggal 05 Desember 2023 dan melakukan penahanan selama 20 hari," ujarnya, Selasa (5/12) malam.
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus korupsi impor emas? Di samping melakukan penggeledahan kantor pihak Bea Cukai, tim juga masih secara pararel melakukan penyidikan perkara serupa di PT Aneka Tambang (Antam).
-
Mengapa ICW mendesak KPK untuk mengusut dugaan korupsi pengadaan gas air mata? Mengingat menurut dia sumber dana itu berasal dari pajak masyarakat."Satu keberanian untuk menangani kasus -kasus yang melibatkan aparat penegak hukum, kemudian yang kedua bisa menjadi legacy (warisan) kepada pimpinan berikutnya," pungkasnya.
-
Siapa yang ditahan KPK terkait kasus dugaan korupsi? Dalam kesempatan yang sama, Cak Imin juga merespons penahanan politikus PKB Reyna Usman terkait kasus dugaan korupsi pengadaan software pengawas TKI di luar negeri.
-
Siapa yang ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur terkait kasus korupsi di PT IMS? Kepala departemen pengadaan PT INKA Multi Solusi (PT IMS) berinisal HW ditahan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Ia disangka telah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan barang dengan nilai kerugian sebesar Rp9 miliar.
-
Apa yang dilakukan ICW untuk mengkritik KPK? Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi unjuk rasa untuk mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menangkap Harun Masiku di depan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Pernyataan tersebut menanggapi putusan MK pada 30 September 2021 terhadap uji materiil yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi Otto Cornelis Kaligis (OC) Kaligis terkait syarat pengurangan masa pidana (remisi) bagi narapidana (napi).
MK memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Kamis (30/9), namun menyatakan semua napi memiliki hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali.
"MK dalam putusannya menyatakan tidak hendak ikut campur dalam penentuan pemberian remisi terutama terkait eksistensi Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012, namun permasalahannya adalah pandangan MK tentang model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan," jelas Kurnia.
Dari pertimbangan tersebut, menurut Kurnia, muncul kesan baik pembatasan maupun pemberian remisi melalui PP 99/2012 merupakan suatu kesalahan.
"Padahal, MK sendiri dalam putusan tersebut sudah menyebutkan bahwa wilayah pengujian PP bukan merupakan bagian kewenangannya. Maka putusan MK tersebut jelas 'error in objecto' karena membahas sesuatu yang bukan objek perkaranya," terangnya.
Kurnia juga menilai, majelis hakim konstitusi memaksakan diri mengeluarkan pendapat, sehingga membuka ruang tafsir berbeda di tengah masyarakat. Selain itu, putusan MK dinilai tidak tegas, meski MK sama sekali tidak membatalkan peraturan-peraturan yang ada terkait remisi.
"Sederhananya, jika memang putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK terdahulu, maka tidak perlu lagi komentar-komentar lain di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan. Itu sebabnya komentar MK terkait remisi dan kewenangan hakim untuk menentukannya terkesan tidak tegas dalam melindungi putusan-putusan sebelumnya," ungkapnya.
Ketidaktegasan itu disebut makin memperlihatkan ketiadaan "sense of crisis" terhadap kejahatan korupsi di Indonesia, padahal praktik korupsi masih menjadi sumber utama penghambat kesejahteraan masyarakat.
"Tidak hanya itu, MK juga gagal dalam memahami pemaknaan korupsi sebagai 'extraordinary crime' yang membutuhkan perlakuan khusus untuk dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, sehingga kalau seluruh terpidana tanpa terkecuali dapat dengan mudah mendapatkan remisi, berarti menyamaratakan semua tindak pidana," kata Kurnia.
Padahal putusan-putusan MK sebelumnya dengan tegas mengesahkan pembatasan hak untuk menerima remisi bagi pelaku kejahatan-kejahatan khusus seperti korupsi.
Terlebih dalam salah satu butir pandangannya, MK menyebutkan bahwa persyaratan pemberian remisi bagi terpidana dengan kejahatan khusus berdampak pada situasi "overcrowded" di lembaga pemasyarakatan.
"Jelas pandangan MK keliru, sebab mengacu pada data per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) jika dibandingkan dengan total keseluruhan warga binaan (270.445 orang). Dalam konteks kejahatan lain, misalnya, narkoba, sepertinya permasalahannya bukan pada pengetatan remisi, melainkan undang-undang dan implementasi dari penegak hukum," kata Kurnia seperti dilansir dari Antara.
Sehingga ICW berkesimpulan putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 tersebut tidak dapat dijadikan alasan mengubah PP 99/2012 yang mengatur syarat remisi bagi terpidana koruptor, salah satunya adalah ditetapkan sebagai "justice collaborator" yaitu pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara.
"Mahkamah sama sekali tidak berwenang menafsirkan apa pun yang diatur dalam PP Nomor 99/2012, sebab PP itu bukan objek kewenangannya. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, sehingga pemerintah tidak dapat berargumentasi terhadap pandangan mahkamah di luar objek permohonan untuk mengubah PP 99/2012 yang memberikan pembatasan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk korupsi," ujarnya.
Dalam putusannya, MK berpendapat, penahanan atas diri pelaku tindak pidana, termasuk dalam hal ini menempatkan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan pada dasarnya merupakan perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang.
Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan, karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights).
MK menyebut persyaratan yang ditentukan tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan, selain juga harus mempertimbangkan dampak 'overcrowded' di lapas yang juga menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Karena itu, menurut Mahkamah, adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
Baca juga:
Respons KPK soal Koruptor Berhak Menerima Remisi
Remisi 214 Narapidana Korupsi Cederai Rasa Keadilan Masyarakat
Kemenkum HAM Diminta Transparan Soal Remisi Djoko Tjandra
KPK Soal Pemberian Remisi ke Koruptor: Hak Seorang Narapidana
214 Narapidana Kasus Korupsi Dapat Remisi HUT RI
Djoko Tjandra Dapat Remisi HUT RI, Hukuman Dipangkas 2 Bulan