Ini isi Pancasila pertama versi Soekarno, beda dengan sekarang
Ini isi Pancasila pertama versi Soekarno, beda dengan sekarang. Tanpa teks, Soekarno berpidato menggelora soal apa arti kemerdekaan dan dasar negara Indonesia. Puluhan anggota BPUPKI yang hadir terpukau dibuatnya.
1 Juni 1945, tepat pukul 09.00 WIB, Soekarno bangkit dari kursinya dan memulai pidatonya di hadapan peserta sidang umum Dokuritsu Junbi Cosakai, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tanpa teks, Soekarno berpidato menggelora soal apa arti kemerdekaan dan dasar negara Indonesia. Puluhan anggota BPUPKI yang hadir terpukau dibuatnya.
Bukan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, bukan pula Manifesto Komunis. Bung Karno juga menolak pandangan dari bangsa lain, termasuk Jepang. Indonesia harus berdiri di atas jati dirinya sendiri.
Bung Karno menyebut lima pemikirannya untuk dasar negara:
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan,
3. Demokrasi
4. Keadilan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah panjang lebar menjelaskan satu per satu isi dari buah pikirannya, Soekarno lantas menjelaskan alasannya membuat lima dasar. Di hadapan peserta sidang, Bung Karno menjelaskan kenapa harus berjumlah lima.
"Rukun Islam ada lima. Jari kita ada lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Jumlah pahlawan kita Mahabharata, pendawa, juga lima. Sekarang asas-asas dasar mana kita akan mendirikan negara, lima pula bilangannya."
Lalu, dia pun memperkenalkan kata Pancasila. "Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua. Prinsip Gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara."
Pidato Soekarno soal dasar negara itu diterima oleh BPUPKI. Namun perumusan Pancasila belum usai.
Tanggal 9 Juni 1945, BPUPKI membentuk Tim Sembilan. Anggotanya adalah Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.
Tanggal 22 Juni mereka merumuskan lima pikiran Soekarno tersebut dan mengubah urutannya. Ada beberapa kata yang diganti.
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan ini yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Soekarno adalah salah satu orang yang memperjuangkan BPUPKI agar menerima isi Piagam Jakarta ini sebagai dasar negara. Namun perdebatan soal sila pertama Piagam Jakarta ini terus terjadi.
"Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya," kata-kata ini yang dipersoalkan. Dengan tujuh kata ini, Indonesia dianggap menuju negara Islam. Para wakil Indonesia dari Indonesia Timur menolak tujuh kata ini.
Terjadi debat antara golongan Islam dan golongan Nasionalis. Soekarno sendiri menarik diri dari debat ini.
Ki Bagoes Hadikoesoemo, menilai bahwa kemerdekaan Indonesia diraih juga berkat perjuangan umat Islam. Islam juga merupakan agama mayoritas di Indonesia. Pendapat ini disanggah dengan mengatakan di wilayah Timur, komposisinya berbeda. Karena itu dasar negara diminta tak menggunakan agama tertentu. Perdebatan dan lobi terus terjadi.
Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata itu, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kemudian dihapus.
Mohammad Hatta menyampaikan alasannya. Jika tujuh kata itu tetap dimuat, ada kekhawatiran timbul gejolak dari pemeluk agama lain. Saat itu para pemimpin Indonesia merasa perlu merangkul semua komponen bangsa di negara yang baru terbentuk itu.
Terciptalah kompromi hingga kemudian rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Hari Lahir Pancasila kini diperingati setiap tanggal 1 Juni. Merujuk pada pidato pertama Soekarno di depan BPUPKI tentang membentuk dasar sebuah negara. Indonesia harus berdiri di atas jati dirinya sendiri.
Baca juga:
Pidato di Forum Jeju, Megawati akan bicara Pancasila
'Pancasila yang ditinggalkan Bung Karno tetap dan tidak terkikis'
Panglima TNI: Jangan jadikan Indonesia ajang konflik agama
Menteri Lukman: Tidak relevan hadapkan Pancasila dengan agama
Ketua MK: Indonesia absen dalam membangun kultur hukum
Presiden Jokowi bentuk unit kerja pembinaan Pancasila
Ketua MPR: Pancasila tidak boleh hanya sebatas filosofis
-
Kapan Hari Lahir Pancasila diperingati? Hari Lahir Pancasila, yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, adalah momen penting dalam sejarah Indonesia.
-
Apa yang dimaknai dari Hari Kesaktian Pancasila? Hari Kesaktian Pancasila sering dimaknai sebagai upaya memperkokoh peran Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
-
Apa makna dari Hari Kesaktian Pancasila? Hari ini mengingatkan kita akan momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia ketika Pancasila sebagai dasar negara berhasil dipertahankan melalui peristiwa yang dikenal sebagai "Gestok" pada tahun 1965.
-
Siapa yang merumuskan Pancasila? Pada hari ini, kita mengenang kembali lahirnya Pancasila sebagai dasar negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa.
-
Kapan Hari Kesaktian Pancasila dirayakan? 1 Oktober adalah Hari Kesaktian Pancasila.
-
Bagaimana Pancasila berperan sebagai dasar negara Indonesia? Pancasila sebagai dasar negara memberikan arah dan petunjuk bagi pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, mempersatukan dan memantapkan kebudayaan dan identitas nasional Indonesia, serta memandu dan mengarahkan pembangunan nasional.