Ini kemiripan pola hidup warga eks Gafatar di Kukar dan Mempawah
Mereka terkesan eksklusif, tidak berbaur dengan masyarakat Sebulu, bertani dan anak-anak bersekolah di areal pemukiman.
Permukiman dan pola hidup warga eks Gafatar di Kalimantan Barat dan di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, nyaris tidak ada bedanya. Mulai dari eksklusifitas tempat tinggal yang jauh dari permukiman, hingga anak yang tidak mengenyam pendidikan formal. Pola hidup demikian, tentu mengherankan warga setempat.
Di kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara misalnya, tercatat 86 jiwa bermukim di sebuah desa. Mereka diketahui sebagian besar berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB), tiba di Sebulu sekitar September 2015 lalu. Sebagian besar merupakan orang-orang yang telah lulus bangku kuliah baik S1 maupun Diploma III.
Permukiman yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pusat pemerintahan kecamatan Sebulu, memang terkesan eksklusif, tidak berbaur dengan masyarakat Sebulu. Keseharian mereka diisi dengan kegiatan pertanian. Anak-anak mereka pun tidak bersekolah di sekolah umum, melainkan cukup mengenyam pendidikan di dalam areal permukiman.
"Laporan RT, tujuan awal mereka ke sini, bertani, bercocok tanam. Sebagian besar berpendidikan. Selain dari NTB, juga ada dari daerah lain," kata Camat Sebulu, Murjani, saat berbincang bersama merdeka.com melalui telepon, Rabu (3/2) malam.
Sedari awal, memang belum diketahui bahwa mereka merupakan warga eks Gafatar. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, pemerintahan kecamatan pun memperoleh kesimpulan bahwa mereka adalah eks Gafatar.
"Setelah kita identifikasi mereka, karena kehidupan mereka dalam satu kelompok, satu kawasan menjadi satu," ungkapnya.
Seperti halnya di Mempawah, Kalimantan Barat, yang sempat mencuat beberapa hari lalu, disebabkan eksklusifitas tempat tinggal mereka yang jauh dari permukiman, juga tidak berbeda dengan di Sebulu.
"Mereka terpisah dari orang lain. Mereka membangun bangunan itu sekitar 30 bangunan rumah terbuat dari kayu. Sementara anak-anak mereka juga tidak ada yang keluar dari permukiman," ungkap Murjani.
"Anak-anak mereka menggunakan sistem homeschooling. Kalau ditanya mereka tidak bersekolah di luar, cukup di dalam lingkungan mereka," terang Murjani.
Masih dijelaskan Murjani, 2 bayi dari warga eks Gafatar, juga telah lahir di tengah permukiman mereka, tanpa penanganan medis umumnya, melainkan menggunakan jasa persalinan sesama warga eks Gafatar.
"Ditangani bidan karena dari mereka ada lulusan bidan," ungkap Murjani.
Sebelumnya, dalam rapat koordinasi, pemkab Kutai Kartanegara, Rabu (3/2) memastikan akan memulangkan 363 jiwa warga eks Gafatar di 4 kecamatan Tenggarong, Tenggarong Seberang dan Kota Bangun. Meski demikian, dana pemulangan masih dihitung, mengingat banyaknya tujuan daerah pemulangan.
Rencana pemulangan, juga segera dikoordinasikan kepada pemda daerah tujuan. Namun demikian, belakangan diketahui, sebagian dari 363 orang itu, 42 di antaranya yang bermukim di kecamatan Tenggarong, kabur dari permukiman tanpa diketahui sebab yang jelas dan tanpa kabar kepada masyarakat sekitar.