Ini Penjelasan Jaksa Agung Burhanuddin Tentang Proses Pelaksanaan Pidana Mati
Jaksa Agung Burhanuddin menjelaskan rencananya dalam menangani kasus dengan hukuman pidana mati. Burhan menjelaskan dalam empat poin rencana.
Jaksa Agung Burhanuddin menjelaskan rencananya dalam menangani kasus dengan hukuman pidana mati. Hal ini, ia paparkan salam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11).
Burhan menjelaskan dalam empat poin rencana. Poin pertama adalah permohonan grasi tidak akan mempengaruhi pelaksanaan putusan pemidanaan.
-
Kapan bintang-bintang mati? Setiap Tahun, Ada Segini Bintang yang Mati di Galaksi Bima Sakti Bintang pun bisa hancur setiap tahunnya dan melakukan "regenerasi". Komposisi bintang di langit terus berganti seiring dengan perkembangan waktu.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Apa isi dari Buku Mati? Buku yang memiliki judul ganda, ‘The Spells of Coming Forth by Day,’ atau dikenal dengan sebutan Buku Mati, ternyata menyimpan makna mendalam dalam dunia gaib. Selain memuat berbagai mantra, buku ini juga dipenuhi dengan kidung yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
-
Kapan Choirul Huda meninggal? Ia bertabrakan dengan rekan satu timnya pada Liga 1 2017 silam saat melawan Semen Padang.
-
Kapan Alun-alun Puspa Wangi Indramayu diresmikan? Sebelumnya alun-alun ini diresmikan pada Jumat (9/2) lalu, setelah direnovasi sejak 19 Mei 2021.
-
Mengapa Wulan Guritno menggugat mantan kekasihnya, Sabda Ahessa? Gugatan perdata ini terkait dengan dana talangan renovasi rumah, mencapai ratusan juta rupiah. Wulan meminta pengembalian dana talangan dan mengajukan biaya ganti rugi serta denda.
"Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana. Kecuali dalam hal putusan pidana mati dengan demikian, ketentuan tersebut menjadi sia-sia," kata Burhan.
Kondisi Kejiwaan Terpidana Mati
Poin kedua, kata Burhan, setiap orang yang setiap terpidana hukuman mati tidak bisa dieksekusi jika masih ada terdakwa lainnya dengan kasus yang sama belum berkekuatan hukum tetap.
"Berkaitan dengan berbarengan dengan tindakan pidana maka tidak dapat dilaksanakan eksekusi pidana mati terlebih dahulu sebelum pelaku lainnya divonis hukuman mati. Yang telah berkekuatan hukum tetap," ungkapnya.
Poin ketiga, pidana mati harus mempertimbangkan kondisi kejiwaan terpidana. Jika terpidana memiliki gangguan kejiwaan maka tidak bisa dieksekusi mati.
"Oleh karenanya untuk mencegah adanya kesengajaan menunda eksekusi terpidana mati alasan terpidana mati sakit kejiwaan maka sakit kejiwaan yang diderita terpidana mati dapat ditunda eksekusinya harus dan didukung oleh keterangan medis yang menunjukkan bahwa terpidana mati sakit kejiwaanya," ungkapnya.
Regulasi PK dan Grasi
Poin terakhir, Burhan menyoroti perubahan regulasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dan grasi antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berbeda.
"Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 7 yang menyebutkan bahwa PK hanya diperbolehkan satu kali. Tetapi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi PK bisa lebih dari satu kali dengan pertimbangan ya adalah hak asasi manusia," ucapnya.
"Itu akan menjadi sedikit problema bagi kami untuk melaksanakan eksekusi mati. Karena apa? Para terpidana mati yang sudah PK satu kali harus dipertimbangkan lagi kalau dia mau PK," ucapnya.
(mdk/ded)