Jadi tersangka, Eddy Sindoro diminta KPK menyerahkan diri
Dalam pengembangan penyidikan KPK, Eddy diduga menjanjikan sesuatu kepada pegawai di PN Jakarta Pusat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan status tersangka terhadap pengusaha Eddy Sindoro. Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan Eddy diduga terlibat kasus suap terkait dengan pengajuan peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam pengembangan penyidikan KPK, Eddy diduga menjanjikan sesuatu kepada pegawai di PN Jakarta Pusat.
"KPK menetapkan ESI (Eddy Sindoro) sebagai tersangka (karena) dalam pengembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan pengurusan perkara di PN Jakpus," kata Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (23/12).
Febri menjelaskan Eddy diduga menjanjikan sesuatu terkait dengan pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat sehubungan dengan permohonan bantuan pengajuan PK di PN Jakpus. Atas perbuatannya, disangkakan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut OTT (operasi tangkap tangan) pada bulan April 2016 dan sudah menetapkan tesangka EN (Edy Nasution) sebagai panitera sekretaris PN Jakpus dan DAS (Dody Arianto Supeno) dari swasta berdasarkan OTT di area parkir bawah tanah hotel di Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat," jelas Febri.
Febri melanjutkan, dalam kasus itu, Doddy sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan.
"Sejumlah saksi sudah diperiksa dalam perkara ini, ada sekitar 15 saksi dari berbagai unsur, baik swasta, advokat, maupun pihak pengadilan, yang dipandang punya relasi dan punya punya informasi mengenai penyidikan ini," tambah Febri.
Ditambahkan Febri, KPK menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk memanggil kembali mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam perkara ini.
"Semua pihak yang terkait dengan perkara ini sepanjang dibutuhkan dengan penyidikan akan dipanggil apakah keterangannya signifikan atau tidak termasuk untuk meningkatkan status perkara lain, masih akan terus dikembangkan dan tidak menutup kemungkinan akan hal itu," tutup Febri.
Menurutnya, hingga saat ini keberadaan Eddy tak diketahui. Pihaknya pun meminta Eddy bersikap seperti tersangka kasus suap Bakamla, Fahmi Darmawansyah (FD), yang menyerahkan diri usai ditetapkan sebagai tersangka.
"Belajar dari apa yang dilakukan tersangka FD yang datang ke KPK tanpa mekanisme 'red notice' atau mekanisme internasional lain, kami himbau agar tersangka segera kembali ke Indonesia dan menyerahkan diri ke KPK," katanya.
Febri mengatakan sejak April 2016, Eddy sudah tak lagi berada di Indonesia. Meski demikian KPK mengetahui dan terus melakukan pemantauan posisi Eddy baik di dalam maupun di luar negeri.
"KPK mengetahui dan memantau posisi tersangka yang berada baik di dalam maupun di luar Indonesia, terkait tersangka di mana atau apakah ada perjanjian ekstradisi di negara tersebut, belum bisa dikonfirmasi," ujar Febri.
Febri menambahkan KPK telah bekerjasama dengan lembaga pemberantasan korupsi di luar negeri maupun interpol atau organisasi lain untuk menangkap buronan di luar negeri.
"Kami tegaskan KPK telah berulangkali melakukan proses dengan hasil maksimal terkait ada buron yang kabur di luar negeri dan ini sebagai 'warning' agar hal tersebut (pengeluaran red notice) tidak perlu terjadi dalam pengungakapn perkara," jelas Febri.