Kejagung Tetapkan 7 Tersangka Halangi Penyidikan Kasus Korupsi Rp4,7 T di LPEI
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menetapkan tujuh orang tersangka dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional Oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Tahun 2013-2019. Nilai korupsi ditaksir merugikan negara hingga Rp4,7 triliun.
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menetapkan tujuh orang tersangka dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional Oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Tahun 2013-2019. Nilai korupsi ditaksir merugikan negara hingga Rp4,7 triliun.
Ketujuh orang tersangka tersebut ditetapkan dari semula 10 orang saksi. Lantaran tidak kooperatif dan diduga menghalang-halangi proses penyidikan perkara yang tengah diusut JAM Pidsus, Kejagung.
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus korupsi impor emas? Di samping melakukan penggeledahan kantor pihak Bea Cukai, tim juga masih secara pararel melakukan penyidikan perkara serupa di PT Aneka Tambang (Antam).
-
Apa yang sedang diusut oleh Kejagung terkait kasus korupsi? Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi komoditas emas tahun 2010-2022.
-
Kapan Kejagung mulai mengusut kasus korupsi impor emas? Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi komoditas emas tahun 2010-2022.
-
Apa yang dilimpahkan Kejagung ke Kejari Jaksel dalam kasus korupsi timah? Kejaksaan Agung (Kejagung) melimpahkan tahap II, menyerahkan tersangka dan barang bukti kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan 2022.Adapun yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) adalah tersangka Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN.
-
Bagaimana Karen Agustiawan melakukan korupsi? Firli menyebut, Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat. Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini Pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
-
Apa yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung terkait korupsi timah? Kebakaran Agung (Kejagung) tengah berkodinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara akibat mega korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah 2015-2022.
"Kami sampaikan bahwa, hari ini penyidik memanggil 10 orang saksi dalam perkara LPEI untuk dilakukan pemeriksaan tujuh di antaranya yaitu saksi yang dua kali berturut dipanggil namun tidak hadir. Ketujuh orang saksi yang saat ini (sempat tak hadir) ditingkatkan menjadi tersangka," kata Kapuspenkum Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangannya, Selasa (2/11).
Adapun ketujuh tersangka yakni; IS selaku Mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI Tahun 2016-2018; NH selaku Mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis (ARD) II LPEI Tahun 2017-2018; EM selaku Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar (LPEI) Tahun 2019-2020.
Lalu, CRGS selaku Mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis Tahun 2015-2020 pada LPEI Kanwil Surakarta; AA selaku Deputi Bisnis pada LPEI Kanwil Surakarta tahun 2016-2018; ML selaku Mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI; dan RAR selaku Pegawai Manager Resiko PT. BUS Indonesia.
Para tersangka itu, awalnya diperiksa dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Tahun 2013-2019.
"Ketujuh tersangka tersebut telah dikeluarkan surat perintah penyidikan Jampidsus dan sudah dikeluarkan surat penetapan tersangka kepada masing-masing tersangka," jelasnya.
Selanjutnya, demi kepentingan penyidikan lebih lanjut, penyidik langsung menahan mereka selama 20 hari sejak hari ini sampai dengan 21 November 2021 di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta.
Adapun duduk penetapan ketujuh tersangka, bahwa pada saat para saksi dilakukan pemeriksaan berdasarkan surat panggilan saksi yang dikeluarkan dalam berita acara pemeriksaan. Ketujuh saksi tersebut bersifat tidak kooperatif.
"Ketujuh tersangka itu, telah beberapa kali menolak memberikan keterangan sebagai saksi. Dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan perundang-undangan. Sehingga menyulitkan penanganan dan penyelesaian tindak pidana korupsi dalam perkara dugaan LPEI yang masih ditangani tim penyidik," sebutnya.
"Sebagaimana diketahui keterangan para saksi dibutuhkan untuk membuat terang tindak pidana, yang terjadi dan menemukan tersangka pada penyidikan LPEI," tambahnya.
Alhasil karena diduga menyulitkan proses penyidikan, ketujuh sanksi dipersangkakan dengan pasal 21 atau pasal 22 UU Nomor 20 Tahum 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Duduk Peraka Korupsi LPEI
Sebelumnya, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur dan pembiayaan kepada para Debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility macet, sejak tanggal 31 Desember 2019.
"LPEI di dalam penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional kepada para debitur (perusahaan penerima pembiayaan), diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet / non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%," terang Leonard.
Dimana, kata dia, berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun, dimana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Selanjutnya, berdasarkan statement pada laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan diantaranya disebabkan oleh ke – 9 Debitur tersebut diatas.
"Lalu, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr. S," katanya.
Namun, Leonard menyampaikan jika pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010.
Akibat hal tersebut, menyebabkan Debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp. 683.600.000.000,- (terdiri dari nilai pokok Rp. 576.000.000.000,- + denda dan bunga Rp. 107.600.000.000,-).
Baca juga:
Perkara Korupsi Asabri, Ini 6 Saksi yang Diperiksa Kejagung
Kasus Korupsi Perum Perindo, Kejagung Panggil 5 Orang Jadi Saksi
Jaksa Agung Tak Butuh Jaksa Pintar Tak Berintegritas: Jika Tak Berubah Silakan Mundur
Hakim Kabulkan Permohonan Tersangka Korupsi, Kejari Kuansing Melapor ke KY
Ketua KPK Firli Bahuri Dukung Wacana Jaksa Agung Terapkan Hukuman Mati Koruptor
JPU Pakai Pendekatan Restorative Justice, 2 Pencuri Kucing Persia di Depok Bebas