Kisah haru loper koran yang meninggal di gubuk reyot
Kisah haru loper koran yang meninggal di gubuk reyot. Agussalim kerap terlambat makan dan kelelahan sehingga sakit maag akut. Hal itu tentu saja disebabkan oleh pekerjaannya yang sering berada di jalan raya serta kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Belakangan ada kisah haru yang viral. Seorang loper koran bernama Agussalim berusia 35 tahun mengembuskan napas terakhirnya di dalam sebuah gubuk reyot.
Gubuk tersebut ditinggal bersama ketiga anaknya. Pria asal Kendari itu akhirnya kembali kepada Sang Kuasa usai diserang maag akut sejak 2012 lalu. Agussalim kerap terlambat makan dan kelelahan sehingga sakit maag akut. Hal itu tentu saja disebabkan oleh pekerjaannya yang sering berada di jalan raya serta kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
-
Kapan Hari Sirkus Sedunia diperingati? Hari Sirkus Sedunia yang diperingati setiap tanggal 17 April, adalah sebuah perayaan internasional yang didedikasikan untuk menghormati dan mengapresiasi seni pertunjukan sirkus serta para pemain dan seniman yang terlibat di dalamnya.
-
Kapan Harun Kabir meninggal? Tanggal 13 November 1947, jadi hari terakhir Harun Kabir dalam menentang kekuasaan Belanda yang kembali datang ke Indonesia.
-
Kapan Hari Lebah Sedunia diperingati? Setiap tahun pada tanggal 20 Mei, dunia merayakan Hari Lebah Sedunia, sebuah peringatan yang mengingatkan kita semua tentang makhluk kecil yang memiliki peran besar dalam kelangsungan hidup planet kita.
-
Kapan Pertamina merayakan HUT ke-66? HUT Ke-66: Pertamina Lakukan Tiga Strategi Rencana Jangka Panjang PT Pertamina (Persero) menggelar kegiatan puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-66, di Grha Pertamina, Jakarta (11/12/2023).
-
Kapan Hari Brimob diperingati? Bangsa Indonesia memperingati Hari Brimob setiap tanggal 14 November.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
Kisah haru loper koran ini berawal pada 2012, yakni saat Agussalim sempat dibawa ke rumah sakit oleh istrinya. Namun, karena tak cukup biaya, rupanya itu terakhir kalinya dia menginjakkan kaki di rumah sakit.
Di gubuk itu yang nyaris roboh itu dia bersama Siti Mutiara (33) istrinya, menetap sejak 2013. Bersama tiga orang anaknya, mereka merantau dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada 2012.
Di rumah yang hanya memiliki dua kamar dan berdinding papan dan tenda bekas itu Agussalim dan keluarga beristirahat, melepaskan penat setelah beraktivitas sehari-hari. Kumuh dan berantakan, kesan pertama saat melihat tempat loper koran itu tinggal.
Saat menginjakkan kaki di pondok yang berlokasi di Jalan La Ode Hadi, Kelurahan Bonggoeya, Kendari itu, terdengar suara lantai kayu yang mulai rapuh. Bahkan, kaki sejumlah pembesuk sempat terperosok saat membawa sedekah puluhan kilogram beras, telur, mi instan, dan minyak goreng.
Di kamar depan yang tak layak disebut ruang tamu, ada semacam meja, merangkap tempat tidur dan meja makan yang dilengkapi tikar dari anyaman bambu.
"Ini rumah kami sendiri yang buat, hasil dari saya dan bapak menjual koran dan tisu di lampu merah," ujar Tiara, sapaan istri Agussalim.
Tanah tempat berdirinya rumah, diungkapkan Tiara, dipinjamkan salah seorang warga Kota Kendari. Warga yang tak dia ingat namanya itu, meminjamkan tanah untuk membangun gubuk hingga mereka punya rumah sendiri.
"Tapi, belum sempat punya rumah, bapak sudah meninggal. Sekarang, saya yang merawat ketiga anak saya," ujar Tiara.
Dua dari tiga orang anaknya, kini duduk di sekolah dasar. Paling sulung, Herman Lili (13), kelas 3 SD. Adiknya, Rika (12) duduk di kelas 2 SD. Rustam Marzuki (6) paling bungsu, belum bersekolah.
Sering Makan dari Pemberian Tetangga
Tiara, istri Agussalim mengatakan, untuk makan sehari-hari mereka sering dikasih tetangga. Bukannya tak mampu membeli makanan, tetapi jika tetangga memberi, semua lauk pasti lengkap.
"Kalau tetangga yang bawa, ada sayur, ikan, dan nasi," ujar Tiara.
Meskipun sehari-hari menjajakan koran bersama suaminya, kehidupan keduanya sangat sulit. Sebab, ketiga anaknya terus tumbuh dan memerlukan biaya yang semakin besar, terutama untuk biaya sekolah.
"Kalau pagi, saya jual tiga koran lokal. Kadang uangnya tidak cukup. Jadi saya kalau sudah sore jualan tisu," katanya, sambil menyebut sejumlah nama koran harian lokal Kendari.
Herman Lili, anak sulung loper koran di Kendari itu mengatakan, rumahnya tak cukup nyaman bagi dirinya dan adik-adiknya. Namun, karena persoalan ekonomi keluarganya, dia harus menerima keadaan itu.
"Saya hanya bisa bantu ibu sedikit-sedikit, mudah-mudahan kalau sudah besar bisa bantu banyak," ujar Herman Lili sedih.
Tak Mau dianggap pengemis
Tiara, mengaku memiliki beberapa keluarga di Kota Kendari. Namun, wanita ini lebih memilih hidup mandiri.
"Saya punya keluarga, suami juga punya. Tapi, daripada kami dianggap meminta-minta, lebih baik jangan minta tolong mereka," katanya.
Hingga kematian suaminya, Tiara tidak memberi tahu sanak familinya. Mulai dari proses pemandian jenazah hingga penguburan, tetangganya yang berperan besar.
"Kami lebih baik kerja sendiri daripada mengharapkan orang," dia menambahkan.
Dua hari sejak kematian suaminya, pihak kantor tempatnya menjual koran juga belum datang menjenguk kondisinya. Hanya Kapolres Kendari, yang datang bersama anggota dan pengurus Bhayangkari.
"Saya tahunya dari media sosial, anggota dan teman-teman wartawan," kata Kapolres Kendari, AKBP Jemi Junaidi.
Kapolres Kendari, mengatakan akan berkoordinasi dengan Pemkot Kendari untuk memberikan solusi bagi keluarga penjaja koran ini. Sebab, sejak pertama menginjakkan kaki di gubuk milik Tiara dan suaminya, Kapolres langsung tersentuh.
Bahkan, kaki istri Kapolres Kendari, Siska, sempat terperosok begitu masuk ke dalam rumah loper koran ini. Lantai papan yang sudah lapuk tidak mampu menahan berat empat orang diatasnya.
Saat itu, sejumlah pengurus Bhayangkari dan anggota Polres Kendari, datang memberikan bantuan makanan. Tidak hanya itu, Tiara dan anak-anaknya juga mendapatkan bantuan uang tunai dari organisasi kepolisian, HBC-Reg dan BCI Sultra.
"Saya akan coba bantu koordinasi ke wali kota, mudah-mudahan dapat respon baik," ujarnya.
Kapolres mengatakan, jika ada pihak yang memiliki rezeki berlebih, sudah saatnya membantu. Sebab, kondisi keluarga Agussalim ini sangat memprihatinkan. "Kasihan mereka, tidur saja bertumpuk begitu di atas papan," dia menandaskan.
Kisah ini mengingatkan kita pada Rumiati yang menjadi juru parkir di Jl. Dr. Angka, Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten banyumas. Hidup menjanda, ia merawat putrinya seorang diri. Puluhan tahun hidup di jalanan jadi juru parkir, Rumiati menilai mesti sabar sebab tak jarang dipandang hina. Sesekali ia mendapati pengemudi mobil yang melemparkan uang dan mengusik martabat kemanusiaannya direndahkan. Lain pengemudi baik motor atau mobil, ada yang mencelanya lambat dan tak becus memarkir. Mengenang semua itu Rumiati hanya mengelus dada.
Sumber: Liputan6.com
Baca juga:
Seni hidup Rumiati sang juru parkir perempuan
Datang ke Semarang, Beckham sengaja ingin bertemu bocah penjual tas
Mbah Ramun, seorang veteran usia 101 tahun kini hidup memulung di Jakarta
Kisah haru di balik foto perempuan Afghanistan ikut ujian sambil pangku bayinya
Momen haru pertemuan pemuda tunanetra dengan sang ayah di Purwakarta
Derita Serafina, bocah 4 bulan mengidap tumor kulit tak bisa berobat karena biaya