Kisah Gereja Tua Kaliceret, Bangunan Kayu Tanpa Paku yang Telah Berusia Ratusan Tahun
Bangunan ini dulunya sempat miring karena tertiup angin, namun bisa tegak kembali karena tertiup angin dari arah yang berbeda
Bangunan ini dulunya sempat miring karena tertiup angin, namun bisa tegak kembali karena tertiup angin dari arah yang berbeda
Kisah Gereja Tua Kaliceret, Bangunan Kayu Tanpa Paku yang Telah Berusia Ratusan Tahun
Di Desa Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, terdapat sebuah gereja tua yang sudah berusia ratusan tahun.
Bangunan tua itu didominasi oleh cat putih dan biru. Di depan bangunan itu terdapat sebuah lonceng kuno yang terbuat dari konstruksi kayu.
-
Siapa yang membangun gereja di Kaliceret? 'Bangunan ini masih asli peninggalan Belanda. Atapnya masih genteng, hanya beberapa genteng yang diganti karena sempat bocor,' kata Triatmo, mengutip YouTube Jejak Tempo Doeloe.
-
Dimana bangunan tua itu berada? Keberadaan bangunan tua itu tersembunyi di balik keriuhan pertokoan di kawasan Kranggan.
-
Dimana gereja abad pertengahan itu ditemukan? Pada pertengahan Februari lalu, para arkeolog di Venesia, Italia, menemukan gereja abad pertengahan yang telah lama hilang di Piazza San Marco.
-
Dimana gereja tersebut ditemukan? Para ahli arkeologi dari Westphalia-Lippe Regional Association (LWL) menemukan bekas gereja dari abad ke-10 di dekat Erwitte-Eikeloh, Jerman.
-
Apa itu Gedung Tua Cikaroeng? Menurut kreator video wisata di kanal YouTube Traveling All In, gedung ini merupakan bekas hotel bintang empat. Namun hotel ini kemudian ditinggal pemiliknya saat proses pembangunan.
-
Apa yang ditemukan di gereja abad pertengahan? Selain makam, para arkeolog juga menemukan reruntuhan dinding dan lantai gereja San Geminiano.
Bangunan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) konstruksinya didominasi oleh material kayu. Namun yang membuat bangunan ini unik dan berbeda adalah konstruksinya yang nyaris tanpa paku.
Menurut Pendeta Agus Tri Harjoko, pemimpin umat Kristen di gereja itu, bangunan itu pernah nyaris roboh karena tertiup angin yang sangat kencang.
“Karena ukurannya hanya 10x20 meter saja. Dulu waktu miring kami sempat gelisah. Namun puji Tuhan bisa tegak sendiri. Penyebabnya juga sama, tertiup angin dari arah yang berlawanan,” kata Pendeta Agus dikutip dari liputan6.com.
Konstruksi bangunan yang lentur dan bisa tegak kembali itu kemungkinan disebabkan oleh plat besi pipih yang menempel di dinding kayu. Fungsi besi pipih itu menyerupai sabuk yang melingkar dan mengikat seluruh bangunan yang berarsitektur Jawa-Belanda.
“Itu sebabnya gereja ini unik dan nyaris tanpa paku. Ketika miring, umat sempat memberi penyangga di beberapa bagian gereja. Tapi mereka terkejut setelah gereja tegak sendiri,” ungkap Pendeta Agus.
Pada masa penjajahan hingga awal kemerdekaan, bangunan gereja itu menjadi satu dengan rumah sakit. Namun dalam perkembangannya rumah sakit di sana dipindah ke pusat Kota Purwodadi.
Gereja ini usianya sudah lebih dari 100 tahun. Tapi tidak banyak renovasi yang dilakukan selain mengganti lantainya dengan keramik.
Sementara lonceng yang berada di bagian depan dulunya menjadi satu di bangunan utama gereja. Namun karena suaranya sangat keras dan bisa membuat tanah bergetar, lonceng itu ditempatkan di rumah khusus.
“Selain lantai kita memindah lonceng dari dalam gedung ke depan. Kita buatkan bangunan sendiri agar pas dibunyikan tidak merusak gedung,” kata Agus.
Terkait bisa pulihnya bangunan yang miring itu, Dosen Teknik Sipil Universitas Soegijapranata, Djoko Setidjowarno, mengatakan bahwa secara manajemen teknis penggunaan material kayu dilakukan terkait ketersediaan material untuk menyelesaikan bangunan.
Tidak hanya kayu sebagai material, keberadaan bangunan gereja itu lokasinya tak jauh dari Stasiun Tanggung yang merupakan stasiun pertama serta jalur kereta api pertama di Indonesia.
Maka keberadaan gereja di sana bisa menjadi satu kesatuan dengan pembangunan stasiun tersebut.
“Dalam konstruksi pekerja juga memanfaatkan besi rel di atas pondasi. Bangunan bisa kembali tegak, tidak lepas dari keberadaan besi sebagai pengikat bangunan sehingga bangunan tetap kokoh kendati sempat miring. Dan saat ada satu bagian tertarik angin, maka bagian lain akan ikut kembali tegak,”
kata Djoko memberi penjelasan tentang bangunan gereja yang sempat miring lalu tegak kembali dengan sendirinya itu.