Kisah kemiskinan ibu yang terpaksa tinggal anak baru dilahirkan di RS
Kisah kemiskinan ibu yang terpaksa tinggal anak baru dilahirkan di RS. Menggambarkan potret kemiskinan masyarakat perkotaan, rumah sewaan itu terlihat berisiko ambruk apabila disapu angin kencang.
Kisah Emi Rabiatul, ibu yang meninggalkan bayinya sendiri di RS Samarinda Medika Citra (SMC) usai dia lahirkan dari rahimnya, memprihatinkan. Hanya gara-gara tidak punya ongkos angkot, dia tak bisa menjemput dan bawa pulang bayinya untuk dia besarkan.
Merdeka.com menyambangi kediamannya, di kawasan Jalan Otto Iskandardinata, Sungai Dama, Samarinda Ilir, sekitar pukul 17.45 Wita. Kondisi rumah yang ditinggali Emi, sangat tidak layak.
-
Kapan bayi tersebut meninggal? Penanggalan radiokarbon mengonfirmasi bahwa keduanya meninggal antara tahun 1616-1503 SM.
-
Kapan makam dukun dan bayi tersebut ditemukan? Pada 1934, pekerja di Jerman menemukan kuburan seorang perempuan yang ditempatkan dalam posisi duduk dengan bayi di antara kakinya.
-
Kapan bayi perempuan tersebut meninggal? Bayi perempuan yang diberi nama "Neve," diambil dari nama sungai di daerah tersebut, diketahui meninggal dunia ketika usianya hanya sekitar 40 hingga 50 hari.
-
Di mana makam bayi perempuan tersebut ditemukan? Penemuan ini terjadi di wilayah Liguria, Italia, dan telah diungkapkan dalam sebuah artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal Scientific Reports.
-
Kapan keluarga itu dibantai? Penggalian di Yaroslavl dari 2005-2006 menyatakan pembantaian itu terjadi pada Februari 1238.
-
Kenapa bayi sering cegukan? Cegukan pada bayi umumnya merupakan fenomena alami dan tidak perlu menjadi sumber kekhawatiran yang berlebihan bagi orangtua.
Menggambarkan potret kemiskinan masyarakat perkotaan, rumah sewaan itu terlihat berisiko ambruk apabila disapu angin kencang.
Asmi Juaning, berusia sekitar 50 tahun bersedia berbincang tentang kehidupan memprihatinkan dia bersama anaknya, Emi Rabiatul, dan cucu-cucunya.
"Saya tinggal di sini menyewa Rp 200 ribu sebulan. Sudah tinggal 40 tahun saya di sini," kata Asmi, mengawali perbincangan petang ini, di bawah lampu penerangan.
Rumahnya yang reot itu, dihuni 11 orang termasuk Asmi sendiri, anak dan cucunya. Tetesan air rembes saat hujan, papan kayu yang jabuk, plafon rusak bertutup terpal, jadi santapan dia sehari-hari, di rumah yang dia tinggali.
"Kalau makan, kadang-kadang hanya nasi dan garam," ujar dia, sambil didampingi putrinya, Emi Rabiatul.
Dia pun bercerita tentang kehamilan dan kelahiran cucunya, 28 Desember 2017 lalu. Saat itu, awal kelahiran, dibantu oleh seorang dukun bersalin. "Kita ke dukun karena tidak ada biaya. Tapi karena dukun ternyata tidak sanggup, jadi diteruskan ke SMC (RS SMC)," cerita Asmi.
Belakangan, bukan biaya bersalin cucunya yang jadi masalah lantaran sudah ditanggung BPJS kesehatan, melainkan biaya bayi Emi yang jadi beban pikiran. Akhirnya, Emi pun meninggalkan bayinya pulang ke rumah.
"Kalau suami anak saya (Emi Rabiatul) jadi tukang goreng kerupuk. Jadi ini mau jemput cucu saya, kami ini tidak punya duit taksi (angkot) ke rumah sakit," terang Asmi.
"Rumah sakit memang tidak minta apa-apa. Tetapi kami kan kalau ke sana (RS SMC) perlu biaya transport, beli pampers," ungkap Asmi.
Hidup Asmi dan anak beserta cucunya semakin memprihatinkan, lantaran suaminya meninggalkan dia sepekan yang lalu. "Suami saya meninggal semingguan yang lalu. Jadilah kami seperti ini (hidup memprihatinkan)," demikian Asmi.
"Saat kami datang ini, ternyata memang kendalanya soal ekonomi. Kondisi rumahnya sangat tidak layak, makan pun terbatas. Kita segera koordinasikan dengan pemerintahan setempat, agar segera dapatkan bantuan, "kata petugas Dinas Sosial Kota Samarinda, Syarifah Halimatussadiah, dalam kesempatan itu.
Baca juga:
Kasus persalinan ibu di Depok bikin heboh, rumah sakit disebut menahan bayi
2017, jumlah penduduk miskin di Jateng turun 253.230 orang
Rumah roboh diterpa badai, satu keluarga di Sumbar tak punya uang untuk perbaiki
Mensos sebut data BPS jadi bukti program pengentasan kemiskinan efektif
Kemiskinan di Maluku dan Papua masih tinggi, ini kata Sri Mulyani