Cerita Sepasang Kekasih Buang Bayi ke Rumah Orang Tua sampai Perkara Dihentikan Kejaksaan
Mereka meninggalkan bayinya di depan rumah dan menyisipkan sepucuk surat yang memohon agar sang bayi tidak diserahkan kepada orang lain.
Nurul Afiyah dan Muhammad Haviv Setiadi mengambil langkah keliru sampai nekat "membuang" bayinya yang baru berusia tiga bulan, sehingga mereka harus merasakan pengapnya kamar penjara. Namun, keduanya terbilang beruntung, karena perkaranya dihentikan kejaksaan.
Perkara berawal dari hubungan asmara yang kebablasan antara Nurul dan Haviv. Mereka sebenarnya telah merencanakan untuk menikah. Namun situasi berubah saat Nurul hamil di luar nikah.
Dalam keadaan yang penuh tekanan, pasangan ini memutuskan untuk hidup bersama di sebuah kos-kosan tanpa memberi tahu keluarga. Saat sang buah hati hadir ke dunia, satu per satu masalah mulai muncul.
Haviv yang tak memiliki pekerjaan karena diberhentikan dari restoran cepat saji tempatnya bekerja, membuat mereka tak lagi punya penghasilan. Nurul yang bekerja pun terpaksa hidup dari penghasilannya yang pas-pasan, lantaran gajinya harus terpotong lantaran cuti melahirkan.
Orang Tua Tak Tahu Bayi yang Ditemukan Adalah Cucunya
Kondisi ini pun membuat keduanya mulai kewalahan mengurusi sang buah hati. Kebutuhan dasar untuk sang bayi kerap kali tak terpenuhi.
Akhirnya, keduanya memutuskan untuk "membuang" sang buah hati ke orang tua Haviv atau calon mertua Nurul. Mereka meninggalkan bayi itu di depan rumah dengan menyisipkan sepucuk surat yang memohon agar sang bayi tidak diserahkan kepada orang lain.
Hal ini tentu saja sempat membuat orang tua Haviv kaget. Mereka yang tak mengetahui bahwa bayi yang ditemukan di depan rumah adalah cucunya sendiri, melaporkan kasus itu pihak RT, RW, Puskesmas, dan kepolisian.
Hingga akhirnya terungkap bahwa bayi tersebut adalah anak dari Haviv dan Nurul. Keduanya dijebloskan ke penjara karena melanggar UU Perlindungan Anak terkait penelantaran bayi.
Namun, Haviv dan Nurul bisa bernapas lega setelah Kejaksaan Negeri Surabaya mengambil langkah bijak. Tak ingin bayi dan orang tuanya terpisah akibat implikasi hukum, Kejari Surabaya menghentikan penuntutan perkara tersebut melalui Restorative Justice atau Keadilan Restoratif.
Ruang Penyelesaian Berlandaskan Kemanusiaan
Ali Prakosa, Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Surabaya di Rumah Restorative Justice Omah Rembug Adhyaksa, Gedung Fakultas Unair mengatakan, penuntutan perkara ini dihentikan melalui penandatanganan Pakta Integritas Perkara Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dia menyebut, keadilan restoratif yang difasilitasi oleh Kejari Surabaya hadir sebagai jembatan penyelesaian. Tidak hanya untuk para pelaku, tetapi juga untuk kepentingan terbaik anak yang menjadi korban.
Surat perintah proses perdamaian (RJ-1) yang dikeluarkan tertanggal 5 September 2024, membuka jalan untuk penyelesaian di luar pengadilan, menghindarkan kedua orang tua dari tuntutan lebih berat, sekaligus memberikan ruang untuk refleksi dan perbaikan di masa depan.
Melalui pendekatan ini, Kejari Surabaya berhasil membuktikan bahwa setiap masalah memiliki ruang untuk penyelesaian yang berlandaskan kemanusiaan, di mana korban dan pelaku dapat berdamai demi masa depan yang lebih baik.
"Kasus ini juga mengajarkan kepada kita semua, terutama generasi muda, bahwa menghadapi masalah dengan keterbukaan, terutama kepada keluarga, dapat mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti ini. Tanggung jawab dan komunikasi adalah kunci utama dalam menjalani hidup bersama," katanya, Kamis (5/9).