Tuai Pro dan Kontra, Ini Kata Pakar Terkait Hukuman Penjara Terhadap Anak Pelaku Perundungan di Cilacap
Kasus perundungan di Cilacap membuat publik geram. Namun pantaskah pelaku yang masih anak di bawah umur dipenjarakan?
Kasus perundungan di Cilacap membuat publik geram. Namun pantaskah pelaku yang masih anak di bawah umur dipenjarakan?
Tuai Pro dan Kontra, Ini Kata Pakar Terkait Hukuman Penjara Terhadap Anak Pelaku Perundungan di Cilacap
Kasus perundungan anak di Cilacap mendapat sorotan dari banyak pihak. Bahkan diketahui bahwa kasus ini juga mendapat sorotan dari UNESCO.
Kasus itu ibarat seperti puncak gunung es karena diperkirakan masih banyak bentuk maupun kasus perundungan lain di sekolah yang belum diketahui publik.
Masalahnya lagi, kasus perundungan itu menyeret anak di bawah umur yang secara hukum akan dikenai hukum peradilan anak yang berbeda dengan hukum peradilan dewasa. Dalam sistem peradilan itu, anak tetap berpotensi untuk dipenjara.
Namun hukuman penjara ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada pakar yang menyatakan bahwa tanggung jawab pidana ini tak hanya dibebankan kepada anak, bahkan orang tua dan pemerintah harus ikut bertanggung jawab
-
Apa hukuman yang diberikan orangtua kepada anak yang suka bully? Dia dihukum untuk berdiri sambil memegang papan dengan bertuliskan sebuah kalimat ajakan. Para pengguna jalan dianjurkan kedua orangtua anak itu untuk membunyikan klakson jika mereka tak menyukai sosok perundung. 'Aku adalah pembully. Bunyikan klakson jika Anda benci pembully,' demikian tulisan yang nampak pada papan.
-
Bagaimana anak menjadi pelaku bullying? Anak-anak yang cenderung melakukan bullying sering kali merasa senang atau puas ketika berhasil membuat orang lain merasa tidak nyaman atau takut.
-
Kenapa anak menjadi pelaku bullying? Mereka yang sering terlibat dalam perilaku ini mungkin memiliki masalah emosional atau sosial yang mendasari tindakan mereka.
-
Kenapa anak terlibat dalam bullying? Anak-anak dapat terlibat dalam tindakan bullying karena berbagai alasan, seperti rasa cemburu, kurangnya kepercayaan diri, atau merasa lebih unggul dibandingkan teman-temannya. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa mereka melakukan bullying sebagai bentuk balas dendam terhadap pengalaman buruk yang mereka alami.
-
Kenapa anak melakukan bullying? Tindakan bullying yang dilakukan oleh anak-anak sering kali dipicu oleh beberapa faktor, termasuk pengaruh dari lingkungan keluarga, minimnya rasa empati, serta dorongan untuk mendapatkan perhatian atau kekuasaan.
Terkait kasus ini, pihak keluarga korban meminta keadilan terhadap polisi. Mereka berharap agar pelaku dapat dipenjara.
“Kalau misal ada undang-undangnya saya minta untuk dipenjarakan saja. Biar ada efek jera. Karena itu anak telah melakukan kejadian yang sangat brutal,”
kata Cici Mardianti, pihak keluarga korban.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah sosok pelaku yang merupakan siswa berprestasi. Diketahui bahwa pelaku merupakan juara dua lomba pencak silat tingkat kabupaten dan juara tiga lomba tilawah tingkat kecamatan. Hal inilah yang menjadi sorotan bagaimana sebuah lembaga pendidikan mendidik peserta didiknya.
“Yang menjadi fokus kita dalam dunia pendidikan itu bukan hanya ranah kognitif, namun bagaimana dia berempati. Nah ini kan masalahnya dia tidak berpikir bahwa apa yang dia lakukan akan menyakiti orang lain. Berarti empati terhadap orang lain minim sehingga yang terjadi adalah yang kita lihat saat ini,” kata Feriyansyah, pengamat pendidikan dari Kabid Litbang Pendidikan P2G.
Sementara itu konselor dan Founder Upajiwana, Nurcahyati, S.Psi, berpendapat kelakuan yang dimiliki anak juga merupakan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak.
“Ini PR besar orang tua, bahwa sedari dulu berusaha menjalin relasi, membantu anak mengenali dirinya, meregulasi emosinya, bantu anak untuk bisa punya karakter yang baik. Melampiaskan emosi-emosi dengan cara yang suportif. Tidak membahayakan dirinya maupun orang lain,”
ujar Nurcahyati terkait tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak.
Nurcahyati menambahkan, pemerintah harus peduli terhadap kasus tersebut. Apalagi tidak semua kasus kenakalan remaja harus berakhir dengan hukuman penjara.
“Karena saya selalu percaya dan berkeyakinan bahwa tidak ada anak yang nakal, tidak ada anak yang bermasalah, kecuali kalau dasarnya dia mengalami psikopat,” kata Nurcahyati.
Nurcahyati berharap, kalau anak tersebut masih bisa dibina dan dibimbing agar ke depan memiliki kelakuan yang lebih baik, maka akan lebih baik agar dia tidak diberi hukuman penjara.