Kisah penyandang keterbatasan fisik jadi pengusaha keset perca
Pada 2007, Irma rela tidur di emperan Pasar Tanah Abang dengan beralaskan 3 karung berisi keset yang dibawanya.
Masih terngiang dalam ingatan Irma Suryati (38), salah satu penderita keterbatasan fisik dari Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, saat kali pertama menjejakkan kaki di Ibu Kota. Kala itu, di Tahun 2007, Irma membulatkan tekadnya untuk menjajakan hasil kerajinan berupa keset dari kain perca hasil buah tangan sesama penyandang cacat dari desanya.
"Saya waktu itu membawa 3 karung besar berisi keset untuk dipasarkan di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Terus terang saat itu saya nekat karena tidak punya modal, bahkan tidak tahu wujud Pasar Tanah Abang. Selain itu, saya juga kebingungan karena ada sekitar 5.000 keset yang belum terjual. Akhirnya dengan ongkos Rp 100 ribu untuk tiket bus, saya sampai di Tanah Abang sekitar jam 3 pagi. Karena masih tutup, mau tak mau harus menunggu pasar hingga buka di pagi harinya," ujarnya saat ditemui merdeka.com di Purwokerto, Sabtu (8/6).
Karung yang berisi keset itu disejajarkan menjadi alas tidur di emperan Pasar Tanah Abang. Kala itu, hujan dan angin besar menjadi temannya bertualang mengadu nasib di Jakarta.
"Pengalamannya memang tidak mengenakkan. Selain banjir dan angin besar, saya juga sempat diganggu preman yang meminta uang kepada saya," ujarnya yang masih bersemangat menceritakan pengalaman yang menjadi titik balik mengubah nasibnya.
Pipi Irma tiba-tiba 'tertampar' koran yang tertiup hembusan angin kencang di emperan pusat grosir terbesar di Asia Tenggara itu.
"Sekitar pukul 07.30 WIB, tiba-tiba ada koran yang menampar pipi saya. Setelah saya baca lembaran koran, ternyata ada pengumuman lomba kewirausahaan muda tingkat nasional di Tahun 2007 yang tempat pendaftarannya di Universitas Indonesia dan Kantor Kemenpora. Akhirnya, setelah selesai jualan keset saya nekat mendaftar ke Universitas Indonesia," kata ibu lima anak ini.
Sesampainya di tempat pendaftaran, Irma masih mendapat rintangan lain, lantaran lomba tersebut hanya boleh diikuti kalangan yang memiliki gelar minimal sarjana. Irma yang hanya lulusan SMA pun tak menyerah. Dia membujuk panitia untuk mempertemukannya dengan ketua panitia.
"Saat itu saya akhirnya dipertemukan dengan Ibu Nining Susilo, mungkin karena tidak tega melihat saya. Dia memberikan syarat kepada saya, jika ingin ikut harus menjadi binaan UKM Universitas Indonesia. Syarat itu saya terima dan akhirnya berhasil meraih juara I dalam Lomba Kewirausahaan Muda Nasional Tahun 2007 oleh Kemenpora," jelasnya yang sering mendapat penghargaan atas prestasinya memberdayakan masyarakat.
Kesenangannya dalam mengkreasikan kain perca sejak sekolah sudah ditekuninya. Diakuinya, keinginan membuka usaha pembuatan keset dari kain perca diawali dari keputusasaannya lantaran tak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja. Walau mengalami polio, Irma tak kenal menyerah dalam menggapai sesuatu yang diyakininya.
"Sebenarnya sebelum mencapai hasil saat ini, banyak cibiran dari orang sekitar. Awalnya, saya hanya bersama suami saya mengerjakan pembuatan keset dari kain perca," jelas istri Agus Priyanto (35) itu.
Saat ini, Irma mengkaryakan sekitar 20 penyandang cacat untuk bekerja membuat keset di rumahnya yang berada di RT 01 RW 01 Desa Karang Sari Kecamatan Buayan Kebumen. Selain itu, Irma juga terus menularkan kemampuan yang dimilikinya menjadi program pemberdayaan masyarakat di seluruh wilayah Jawa Tengah.
Di samping itu, Irma juga kerap berkeliling daerah untuk memotivasi penyandang cacat dan kaum marjinal lainnya untuk terus berusaha meyakini orang lain untuk tidak menjadi beban bagi masyarakat, tetapi berusaha menjadi aset bagi lingkungan sesuai dengan prinsip hidupnya.
"Selain itu, nanti di Bulan Juli kami juga akan meresmikan sebuah mess penginapan bagi peserta pelatihan khusus bagi penyandang cacat di rumah saya," paparnya.
Kini Irma sukses memasarkan kesetnya hingga ke Australia, China dan Singapura. Kelompok usahanya yang dinamai Mutiara Handicraft saat ini sudah mampu memproduksi 200 ribu keset yang dipasarkan di Pasar Tanah Abang dan 30 ribu keset untuk dikirim ke Australia. Mitra binaannya yang mencapai 59 ribu orang dan tersebar di 15 kabupaten Se-Jawa Tengah dan Jawa Timur kini menjadi ujung tombaknya.
"Sebenarnya tidak hanya penyandang cacat saja yang diberdayakan, tetapi juga PSK, pengamen jalanan dan gelandangan juga kami ajak," paparnya yang mengaku baru memberikan pelatihan kepada mantan PSK dan germo di Surabaya.
Meski begitu, perjuangannya tidak pernah bergantung pada orang lain. Bahkan, Irma mengungkapkan, selama ini tidak ada bantuan nyata dari pemerintah yang langsung bersentuhan dalam usahanya memberdayakan kaum sesamanya.
"Terus terang selama ini kami mandiri. Pemerintah hanya sebatas memberikan dukungan saja, tetapi belum ada aksi nyata seperti memberikan bantuan langsung kepada kami," paparnya.
Kini, Irma mengaku masih ada keinginan yang sampai saat ini belum terwujud. Dia berharap ada sinergi dari pemerintah untuk bisa melakukan pemberdayaan terhadap orang yang mengalami keterbatasan fisik di masing-masing kabupaten.
"Sampai saat ini, penyandang cacat butuh perhatian dan diberdayakan oleh pemerintah. Kalau dihitung saya yakin di masing-masing daerah ada sekitar 7 ribu penyandang yang tidak produktif. Seandainya ini bisa diberdayakan, selain meningkatkan kesejahteraan tentunya juga bisa menekan angka pengangguran," harapnya.