KLHK: Hasil Tes, Limbah Batu Bara PLTU Tidak Memenuhi Bahan Berbahaya
Hasil pengujian limbah abu batu bara hasil pembakaran PLTU memperlihatkan tidak memenuhi syarat masuk dalam kategori bahan berbahaya.
Pemerintah memutuskan mengeluarkan limbah batu bara fly ash dan bottom ash (FABA) PLTU dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Ini terlampir dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan itu sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan alasannya. Hasil pengujian limbah abu batu bara hasil pembakaran PLTU memperlihatkan tidak memenuhi syarat masuk dalam kategori bahan berbahaya.
-
Mengapa PLTU Batang dibangun? Pembangunan PLTU Batang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa dan merupakan bagian dari program penyediaan listrik 35.000 MW.
-
Siapa yang membangun PLTU Batang? PLTU Batang merupakan proyek dengan pola Kerjasama Pemerintah Swasta skala besar pertama dengan nilai investasi lebih dari USD 4 miliar.
-
Kapan produksi tambang batu bara di Sawahlunto meningkat? Pada tahun 1892, produksi tambang batu bara Sawahlunto meningkat hingga mencapai 48.000 ton.
-
Apa yang menjadi keunggulan teknologi PLTU Batang? PLTU Batang menggunakan teknologi mutakhir terbesar di Asia Tenggara untuk saat ini, yaitu Ultra Super Critical, yang memberikan tingkat efisiensi yang tinggi dan memberikan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan teknologi PLTU sebelumnya.
-
Bagaimana PT Adaro Indonesia memulai usahanya di bidang pertambangan batubara? Dengan meningkatnya fokus pada batubara, pada tahun 1976 Departemen Pertambangan membagi Kalimantan Timur dan Selatan menjadi 8 blok batubara dan mengundang tender untuk blok-blok tersebut. Perusahaan Pemerintah Spanyol Enadimsa menawar Blok 8 di Kabupaten Tanjung Kalimantan Selatan, karena batu bara diketahui ada di kabupaten tersebut dari singkapan yang dipetakan oleh ahli geologi Belanda pada tahun 1930-an dan dari persimpangan di kedalaman sumur minyak yang dibor oleh Pertamina pada tahun 1960-an.
-
Apa yang dihasilkan oleh PLTA Ketenger? Selain untuk menggerakkan turbin, air dari PLTA Ketenger juga dialirkan menuju saluran irigasi untuk mengairi pertanian sekitar.
"Kami melakukan tes terhadap limbah batu bara yang berasal dari PLTU, dan hasilnya adalah fly ash dan bottom ash (FABA) itu tidak memenuhi sebagai limbah B3," kata Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam media virtual di Jakarta, Senin (15/3). Seperti dilansir Antara.
Dia melanjutkan, pengujian karakteristik terhadap abu sisa pembakaran batu bara di PLTU menunjukkan beberapa fakta. Seperti tidak memiliki sifat mudah menyala, tidak mudah meledak, tidak reaktif sianida dan sulfida, tidak korosif, memenuhi baku mutu Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan pengujian konsentrasi logam berat.
Vivien memaparkan, pengujian dilakukan terhadap 19 unit PLTU. Hasil uji semua parameter menunjukkan memenuhi baku mutu berdasarkan Lampiran III PP Nomor 101 Tahun 2014/ Lampiran XI PP Nomo 22 Tahun 2021.
Dia melanjutkan, hasil dari Kajian Risiko Kesehatan Manusia (Human Health Risk Assessment/HHRA) yang pernah dilakukan oleh PLTU Painto 1 dan 2, menunjukkan tidak ada parameter yang melebih Nilai Referensi Toksisitas (Toxicity Reference Value) yang ditentukan Kementerian Ketenagakerjaan.
Karena itu, Vivien memastikan dengan masuknya limbah abu batu bara PLTU ke kategori non-B3 akan tetap mempertahankan pengelolaan yang sesuai dengan standar.
Vivien melanjutkan, penegakan hukum jika terjadi pelanggaran dalam pengelolaan limbah abu batu bara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tetap berlaku.
"Kalau memang terjadi pelanggaran, bisa dilakukan penegakan hukum. Masyarakat tetap bisa melakukan gugatan ganti kerugian, karena itu dilindungi negara," tegas Vivien.
Perubahan status limbah batu bara PLTU tidak akan menghilangkan standar pengaturan dan pengelolaan.
KLHK telah menyusun pengaturan limbah non-B3 yang meliputi pengurangan limbah, penyimpanan, pemanfaatan, penimbunan, penanggulangan pencemaran lingkungan hidup dan pelaporan kegiatan limbah non-B3.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan mengeluarkan FABA PLTU dari kategori limbah B3, seperti yang terlampir dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan itu sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Menanggapi hal tersebut, dalam kesempatan terpisah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyayangkan keputusan tersebut karena FABA jika tidak dikelola dengan benar akan dapat memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar situs PLTU.
WALHI mendorong FABA PLTU tetap dimasukkan dalam kategori B3 dan dapat dimanfaatkan setelah melalui pengujian karakteristik spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati menyoroti adanya potensi polusi udara jika tidak terjadi pengelolaan FABA yang tidak sesuai standar.
"Menurut penelitian Universitas Harvard, Amerika Serikat, penderita Covid-19 yang tinggal di daerah-daerah dengan pencemaran udara tinggi memiliki potensi kematian lebih tinggi dibandingkan penderita Covid-19 yang tinggal di daerah yang kurang terpolusi. Apa lagi, kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar PLTU batu bara kebanyakan adalah masyarakat yang rentan secara sosial-ekonomi," ujar Nur Hidayati.
Baca juga:
Pemerintah Klaim Pengolahan Limbah Batubara Tetap Lindungi Lingkungan
KLHK: Pembakaran Batu Bara di PLTU Melalui Temperatur Tinggi Sehingga Karbon Minimum
Bos PT Bukit Asam Sebut Limbah Batubara Sekarang Bisa Diolah Jadi Produk Konstruksi
Pemerintah: Limbah Batu Bara Masih Masuk Kategori Bahaya dan Beracun
Tak Masuk Kategori Bahaya, PKS Khawatir Limbah Batu Bara Dikelola Serampangan