Komnas HAM: Warga Yogya bisa gugat UUK ke Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Keistimewaan memunculkan kerancuan hukum dalam peraturan pertanahan yakni pada pasal 32 dan 33.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Dianto Bachriadi, mengatakan, setelah diberlakukannya UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY, muncul kerancuan hukum dalam pengaturan pertanahan. Hal itu dapat menimbulkan konflik pertanahan (agraria) sehingga masyarakat dapat melakukan gugatan ke Mahkamah konstitusi (MK).
Menurut Dianto, Undang-Undang Keistimewaan memunculkan kerancuan hukum dalam peraturan pertanahan yakni pada pasal 32 dan 33. Pasal tersebut berisi tentang pengaturan pertanahan dan tata ruang yang dinilai merefleksikan menghidupkan kembali azas domein verklaring berdasarkan AW 1870.
"Itu juga seolah menghidupkan kembali prinsip bahwa raja memiliki tanah," ujar Dianto di Gedung DPRD DIY, Kamis (9/6).
Padahal menurut Dianto, semestinya hukum yang mengatur pertanahan mengacu pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang resmi diberlakukan di DIY pada masa Sultan HB IX pada 1984. Penerapan sepenuhnya UUPA di DIY itu ditandai dengan terbitnya tiga surat resmi, yakni keputusan Presiden RI No 33/1984, Kependagri No 66/1984, dan Perda Provinsi DIY No 3/1984.
"Hal itu memunculkan kembali dualisme hukum agraria di Yogyakarta,' ujar Dianto.
Data merdeka.com, konflik pertanahan akibat dualisme hukum agraria tersebut terjadi di Kabupaten Kulon Progo atas rencana pembangunan bandara internasional seluas 645,36 hektar terdiri dari 2.875 kepala keluarga dan 11.501 jiwa.
Dianto menjelaskan, adanya potensi konflik pertanahan tersebut maka masyarakat dapat melakukan gugatan ke Mahkamah konstitusi (MK). Gugatan tersebut bisa ditempuh oleh masyarakat yang memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon, dalam hal ini mereka yang hak konstitusionalnya bertentangan dengan adanya UUK.
"Nah itu kewenangannya MK dan hakim yang akan memutuskan apakah ada pasal-pasal tertentu dalam UUK yang bertentangan dengan norma-norma konstitusional yang ada di UUD 1945," ujar Dianto.
Hal tersebut dibenarkan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni’matul Huda. Dia mengatakan siapa saja yang mempunyai kedudukan hukum sebagai pemohon (legal standing) berhak mengajukan judicial review ke MK.
"Kalau ada warga yang hak konstitusionalnya itu dilanggar, dia punya landasan hukum untuk menggugat ke MK," ujar Ni'matul.
Dia menjelaskan, gugatan ke MK tidak bisa jika yang dipersoalkan merupakan pertentangan UUPA 196 dihadapkan dengan UUK. Hal itu karena MK tidak berwenang menguji antar undang-undang. "MK itu menguji suatu undang-undang terhadap UUD 1945," terangnya.
Selain itu, Ni'matul menambahkan, gugatan ke MK itu bisa dilakukan oleh masyarakat secara individu maupun lembaga. "Yang penting si penggugat bisa membuktikan bahwa ada kerugian yang dialami dengan hadirnya UUK itu. Misalkan LBH yang mewakili kepentingan masyarakat untuk menggugat ke MK," ujarnya.