Kontroversi edaran Kapolri soal caci maki di medsos berujung bui
Pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan untuk cacian yang disebarkan melalui tulisan.
Publik di tanah air, dihebohkan dengan keluarnya surat edaran bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). Surat ini keluar dari markas besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), diteken langsung Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Surat ini bertujuan menindak netizen yang mengutarakan kebencian hingga berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Dalam surat edaran tersebut, penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian dengan mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti hukuman empat tahun penjara bagi siapa saja yang menyatakan permusuhan di depan umum, sesuai Pasal 156 KUHP.
-
Kapan Belva Ugraha lahir? Dengan cepat, pria yang lahir pada tahun 2001 ini telah tumbuh menjadi dewasa dan terlihat seperti kakak-adik dengan Abimana.
-
Kapan KH Hasyim Asy'ari wafat? KH Hasyim Asy'ari wafat pada 25 Juli 1947, tepat pada hari ini, 76 tahun yang lalu.
-
Kapan Harun Kabir meninggal? Tanggal 13 November 1947, jadi hari terakhir Harun Kabir dalam menentang kekuasaan Belanda yang kembali datang ke Indonesia.
-
Kapan Kamari lahir? Ini dia foto bayi cantik putri Jennifer Coppen yang lahir bulan Agustus kemarin.
-
Kenapa Raden Adipati Djojoadiningrat berani melamar Kartini? Karena gagasannya ini, pada awal abad ke-20 Kartini mampu mendirikan sekolah perempuan pertama di rumahnya yang berada di Kabupaten Rembang untuk memberdayakan perempuan sehingga bisa membaca, berhitung, dan menulis.
-
Kapan Kapolda Kepri mencium istrinya? Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Yan Fitri Halimansyah tertangkap kamera sedang mencium istrinya saat melantik ratusan calon anggota Polri di Polda Kepri.
Pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan untuk cacian yang disebarkan melalui tulisan, sesuai Pasal 157 KUHP. Pidana penjara paling lama sembilan bulan untuk kasus pencemaran nama baik, sesuai Pasal 310 KUHP.
Hukuman empat tahun penjara untuk pelaku penyebaran fitnah sesuai dengan Pasal 311 KUHP, dan pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 13. Bagi yang menyebarkan berita bohong, maka akan dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar, sesuai Pasal 28 jis. Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charliyan berdalih, Kapolri mengeluarkan surat tersebut menengok beberapa konflik horizontal berbau SARA yang terjadi Tolikara, Papua dan pembakaran gereja di Aceh Singkil. Dua kasus itu cukup menyita perhatian. Apalagi polisi mencium adanya provokasi dan pernyataan berbau rasis dari salah satu pihak di dunia maya. Selain itu, sebelum bentrokan yang berujung pada pembakaran rumah ibadah, massa dari kedua belah pihak termonitor berkumpul di dunia maya dan terlibat perang opini.
Kontroversi surat edaran Kapolri mengenai caci maki di medsos berujung bui, melahirkan pro kontra. Kecaman menghiasi keluarnya surat ini. Aktivis hingga anggota ikut angkat suara, ada yang mendukung, ada pula yang mengecam keras. Merdeka.com merangkumnya, berikut paparannya.
Abaikan saja tak masalah
Surat edaaran Kapolri bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), mendapat kritik dari Koordinator Indonesia Bersih Adhie Massardi. Dalam pandangannya, pernyataan yang disampaikan publik melalui sosial media adalah bentuk kebebasan berpendapat.
Menurutnya, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mencoba menakut-nakuti masyarakat. "Cuma karena masyarakat kita itu sangat sensitif terhadap aturan-aturan yang dianggap mengekang kemudian ditakut-takuti ini menjadi menakutkan, sebetulnya kalau diabaikan juga tidak masalah. Itu kebebasan berpendapat," ujar Adhie saat acara diskusi Senator untuk Rakyat bertajuk pemuda dan bela negara, di Kafe Dua Nyonya, Cikini, Minggu (1/11).
Secara tegas Adhie mengatakan, surat itu sebagai bentuk mengekang kebebasan berpendapat melalui media sosial. Dia tidak menampik bahwa ada pendapat atau komentar liar di media sosial. "Tetapi selama ini kontrol sosial yang paling efektif itu di sosmed," tandasnya.
Mulutmu harimaumu
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Ruhut Sitompul mendukung langkah Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti untuk memidanakan penebar kebencian (hate speech) via jejaring media sosial. Menurutnya setiap orang harus berani bertanggung jawab atas pendapatnya apalagi jika menimbulkan konflik sosial.
"100 persen saya dukung Kapolri. Jadi tangan kita berdalih seolah tidak ada kebebasan. Kebebasan itu harus bertanggung jawab. Ada pepatah di kampung saya, mulutmu harimaumu. Jadi kalau sudah berani berucap, pertanggungjawabkan ucapan itu, jangan suka-suka. Jadi saya setuju. Saya dukung Kapolri," kata Ruhut kepada merdeka.com, Senin (2/11).
Ruhut berucap, selama ini dia sering menjadi korban hate speech. Bahkan seluruh anggota DPR diklaim sebagian banyak pengguna media sosial sebagai koruptor.
"Ini kan manusia yang merusak demokrasi. Kau buka saja online, tiap hari saya dimaki anjing, babi, segalanya. Saya diam saja. Tiap hari DPR itu dimaki koruptor. Saya kata KPK, saya yang paling bersih. Tapi semua disamakan," tuturnya.
Polisi tidak bisa menuntut berdasar surat edaran
Anggota Komisi III Fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa menilai institusi kepolisian sudah melanggar konstitusi. Hal tersebut karena munculnya surat edaran dari Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk mempidanakan penyebar kebencian di jejaring media sosial.Â
"Itu kan ibaratnya surat itu panduan bagi kepolisian, jadi bukan hukum. Berarti bukan harus dinormakan. Jadi kalau polisi menganggap ini sebagai norma, ya polisi pembuat undang-undang, itu enggak benar. Kalau polisi membuat undang-undang, ini kan membuat aturan menjadi norma. Ini kan sudah enggak jelas institusi kepolisian," kata Desmond kepada merdeka.com, Senin (2/11).Â
Menurut Desmond, surat edaran tersebut hanya bersifat pengumuman saja. Akan tetapi bukan landasan hukum agar kepolisian bisa mengambil tindakan untuk mempidanakan masyarakat sipil.
"Kan surat edaran ini sebetulnya bukan hukum. Polisi itu sebenarnya, dia tidak bisa menuntut berdasarkan surat edaran ini. Dalam persoalan kepolisian harus jelas aturannya," tuturnya.
Polri: Agar tak dicap bangsa penebar kebencian
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charlian berdalih, lahirnya Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech yang diteken 8 Oktober lalu, sekadar untuk mengingatkan masyarakat.
"Apabila masyarakat bicara mengeluarkan pendapat baik dalam orasi, pidato, dan menyampaikan di dunia maya agar hati-hati jangan sembarangan," kata Anton saat menggelar jumpa pers di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (2/11).
Anton menuturkan, edaran tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral kepolisian agar masyarakat lebih berhati-hati menggunakan ruang publik. Jika tidak diatur sedemikian rupa, dia mengaku khawatir mendapat penilaian buruk di mata dunia internasional. Indonesia bisa dicap bangsa yang gemar menyebarkan kebencian.
"Kita punya tanggung jawab moral agar hal tersebut tidak terjadi. Jangan sampai ada satu teori, karena pengguna internet dari Menkominfo, 137 juta bahkan bisa meningkat. Bila dilanjutkan, jangan sampai dijuluki dengan ujaran-ujaran kebencian," tegasnya.
Ketua MPR: Cocok
Ketua MPR Zulkifli Hasan mendukung langkah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mempidanakan penyebar kebencian di media sosial. Dalam pandangannya, jika seseorang menyebar fitnah, rekayasa, maupun caci maki, sudah sepatutnya dipidana.
"Kita ini kan Pancasila. Pancasila kalau diringkas kan kasih sayang, cinta kasih, gotong royong, musyawarah mufakat. Kalau ada fitnah, rekayasa, caci maki, tentu harus ditegakkan hukum. Cocok itu," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (2/11).
Zulkifli menegaskan, hal yang bersifat provokatif dan caci maki tidak sesuai esensi Pancasila. Sebab cenderung berdampak memecah persatuan bangsa.
"Kita kalau caci maki, fitnah, itu tidak sesuai Pancasila, tidak sesuai azas kekeluargaan, gotong royong, musyawarah mufakat," tuturnya.
Ketua DPR: Semoga terlaksana secepatnya
Ketua DPR Setya Novanto mendukung langkah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mempidanakan seseorang yang menyebar kebencian melalui media sosial. Setnov berharap agar surat edaran Kapolri tersebut bisa segera diterapkan.Â
"Tentu ini memberikan faedah yang sangat baik, sehingga kita harapkan ini bisa terlaksana secepatnya. Supaya ini bisa terlaksana dan tentu akan memberikan dukungan yang baik juga buat kepentingan penyelesaian yang lebih cepat, lebih akurat," kata Setnov di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (2/11).Â
Menurut Setnov, surat edaran tersebut sengaja disebarkan guna menjaga kebaikan banyak orang. Maka dari itu Setnov menghargai upaya Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
"Kan itu masalahnya harus kita lihat demi kebaikan semua pihak. Demi kebaikan saya rasa semua bisa menyadari bahwa ini untuk kepentingan yang lebih jauh. Tentu ini sudah diperhitungkan betul-betul oleh Kapolri beserta jajarannya sehingga mudah-mudahan ini bisa selesai," terangnya.Â
(mdk/noe)