Liem Koen Hian, bapak asimilasi yang kecewa
Berita Indonesia cepat, aktual, serius, unik, dan baru: Dia mempropagandakan orang keturunan Tionghoa adalah orang Indonesia. Liem layak disebut bapak asimilasi.
Mulai hari ini hingga sepanjang bulan Kebangkitan Nasional (Mei), setiap harinya merdeka.com akan menurunkan tulisan seri tentang teladan para guru dan pejuang bangsa. Harapannya, teladan mereka menjadi inspirasi anak bangsa dalam berjuang melawan korupsi dan segala ketidakadilan ekonomi, politik, hukum, serta sosial. Semoga bermanfaat.
***
-
Di mana situs Banten Girang berada? Lalu, ada juga situs Banten Girang yang berbentuk gua dan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda saat masih menguasai Banten, sebelum berdirinya Kesultanan Surosowan tahun 932 dan 1030 masehi.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Di mana desa Tegal Wangi terletak? Desa Tegal Wangi di Jimbaran, Badung, Bali, kini menjadi hidden gem yang menawarkan keindahan pantai dengan suasana tenang.
-
Di mana Bandara Banyuwangi berlokasi? Bandara Banyuwangi menjadi bandara pertama di Indonesia yang berkonsep ramah lingkungan.
-
Di mana letak Telaga Sarangan? Kota Magetan memiliki Telaga Sarangan yang pesonanya siap memanjakan mata Anda. Terletak di Kaki Gunung Lawu Julukan The Nice of Java Kabupaten ini memiliki tempat wisata yang mendunia yaitu Telaga Sarangan yang sudah lama menjadi destinasi wisata utama.
-
Kapan Waduk Kembangan buka? Jam operasional Waduk Kembangan adalah setiap hari, mulai pukul 07.00 hingga 19.30 WIB.
Hanya segelintir orang keturunan Tionghoa yang gencar memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Liem Koen Hian salah satunya. Puluhan tahun dia memperjuangkan bangsa Indonesia yang merdeka. Dia mempropagandakan orang keturunan Tionghoa adalah orang Indonesia. Liem layak disebut bapak asimilasi. Tragis, di akhir hidup, Liem dikecewakan bangsanya.
Dalam buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia yang ditulis Leo Suryadinata, Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin tahun 1896. Awalnya dia bekerja sebagai juru tulis di perusahaan minyak Shell di Balikpapan. Namun akhirnya dia lebih tertarik pada dunia jurnalistik.
Liem mengawali karir di majalah Tjhoen Tjhioe. Liem kemudian menjadi pemimpin redaksi Sinar Soematra tahun 1918. Di sini dia kencang menulis soal nasionalisme Tionghoa.
Seperti diketahui saat itu di Hindia Belanda, orang eropa menjadi golongan pertama. Baru setelahnya Tiongkok, Arab dan masyarakat Asia lain, di posisi ketiga baru kaum pribumi. Orang-orang Tionghoa saat itu gencar meminta mereka dijadikan golongan pertama seperti orang Eropa.
Tahun 1925, Liem menjadi pemimpin redaksi Pewarta Soerabaia. Dia terus memperjuangkan nasionalisme Tionghoa dan mengkritik kolonialisme Belanda. Konon, karena tulisannya yang keras akhirnya dia terpaksa meninggalkan Pewarta Soerabaia.
Liem kemudian berkenalan dengan Tjipto Mangunkusumo. Seorang tokoh pergerakan Hindia Belanda. Diskusi panjang lebar dengan Tjipto ini yang mengubah pandangan politik Liem. Liem menerima konsep Tjipto tentang pembentukan sebuah bangsa Hindia yang terdiri dari orang-orang yang menganggap Hindia tanah air mereka dan ikut aktif membangunnya.
Menurut konsep ini, peranakan Indo-Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab merupakan bagian dari sebuah bangsa yang akan terbentuk itu.
Pandangan Liem ini ditentang kelompok Sin Po yang hanya memperjuangkan keturunan Tionghoa agar mendapat perlakuan sama dengan keturunan Eropa. Dia juga berseberangan dengan kelompok Chung Hwa Hui (CHH) yang pro-Belanda.
Liem sempat ditangkap karena pidatonya dinilai antipemerintah. Saat itu dia mengorganisir pers yang dikelola masyarakat keturunan China, Arab, pribumi maupun indo-Belanda untuk memboikot liputan sepak bola karena ada diskriminasi. Perusahaan surat kabar peranakan tidak mendapat pass khusus, dan orang Belanda menulis tidak perlu ada kerja sama dengan pers peranakan.
Liem kemudian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tanggal 25 September 1932 di Surabaya. Dia berpidato panjang lebar soal konsep Indonesier yang diyakininya.
"Seorang peranakan, tidak peduli turunan dari bangsa apa saja, tetapi jika ia berasa dan berpikir seperti seorang Indonesier asli dan bersedia untuk menjalankan kewajibannya terhadap negeri yang ia cintai ini sebagai tumpah darahnya, maka boleh sekali mengaku sebagai Indonesier," kata Liem.
Liem terus memperjuangkan keyakinannya. Bahkan dia pernah dibacok oleh kelompok China pendukung Belanda. Tapi dia tidak pernah berhenti menyuarakan asimilasi. Menjelang kemerdekaan Indonesia, Liem duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Soekarno dan Hatta.
Tahun 1948 pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) meletus di Madiun. Salah satu anggota PTI Oey Gee Hoat yang dianggap terlibat PKI. Oey ditangkap dan dibunuh. Setelah pemberontakan PKI, pemerintah gencar melakukan razia pada orang-orang yang dianggap komunis.
Tidak jelas apa peran Liem, tapi dia ikut ditangkap dalam razia Agustus 1951. Saat itu Liem sudah lemah dan sakit-sakitan. Dia berusaha membela diri, tetapi petugas tetap menahannya tanpa pengadilan. Liem dianggap kekiri-kirian. Pembelaan dirinya tidak dianggap. Inilah kali pertama Liem dipenjara oeh bangsanya sendiri.
Kondisi tahanan sangat buruk. Sakit Liem bertambah parah di dalam penjara. Dengan alasan kesehatan pula Liem akhirnya dibebaskan tanggal 29 Oktober 1951. Dalam keadaan tertekan dan emosi dia melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Sesuatu yang dia perjuangkan tanpa henti selama dua puluh tahun. Liem akhirnya memilih menjadi warga negara Tionghoa.
Lewat sikapnya, dia ingin melawan pemerintah saat itu yang dinilai sewenang-wenang. Belakangan, banyak kawan Liem yang mengaku Liem sangat menyesal mengambil keputusan politik itu. Sebagian lagi berpendapat Liem tidak kuat menerima kenyataan dia ditahan bangsanya sendiri.
Liem mundur dari dunia pergerakan dan pentas politik. Dia membuka apotek di kawasan Tanah Abang dan berniat membuka cabang di Medan. Dalam perjalanan ke Medan, Liem mendapat serangan jantung dan meninggal tanggal 5 November 1952. Liem meninggal di Indonesia yang sangat dicintainya, walau saat itu dia bukan warga negara Indonesia lagi.
(mdk/ren)