Mahasiswa Papua curhat dicap separatis di depan tim pencari fakta
Mereka merasa selalu dicurigai, bahkan dituding hendak berbuat makar.
Beberapa anggota DPRD Papua dan Pemprov Papua mendatangi Asrama Mahasiswa Papua Kamasan 1, di jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Selasa (26/7). Pertemuan ini dihadiri perwakilan mahasiswa Papua se-Jawa.
Kedatangan anggota legislatif dan Pemprov Papua itu buat menggali informasi dan keterangan seputar pengepungan dilakukan polisi dan ormas, di asrama mahasiswa Papua itu pada 14-15 Juli lalu. DPRP dan Pemprov merasa perlu datang ke Yogyakarta sebab peristiwa tersebut menjadi pembicaraan serius di Papua.
"Kami dengar dari Papua sana bahwa ada masalah antara mahasiswa Papua di Yogya dengan kepolisian pada tanggal 15 Juli. Akhirnya kami datang ingin dengar secara langsung apakah benar ada mahasiswa yang dipukul kepolisian," kata Ketua Komisi 1 DPRD Papua, Elvis Tabunyi.
Kedatangan anggota DPRD dan Pemprov Papua sudah ditunggu perhimpunan mahasiswa Papua Yogyakarta. Beberapa saksi dan korban dimintai keterangan dalam pertemuan itu.
"Laporan ini nanti kami akan laporkan juga pada Gubernur Papua dan ketua DPR Papua," ujar Elvis Tabunyi.
Tim ini juga memverifikasi kabar soal sikap mahasiswa bakal kembali ke Papua. Dalam penjelasannya, Elvis Tabunyi, menghargai segala keputusan mahasiswa Papua.
"Kondisi ini sudah darurat," ucap Elvis.
Dalam pertemuan itu mereka mendengarkan keterangan perwakilan mahasiswa Papua di Jawa Barat. Mereka juga mengalami nasib serupa seperti sejawat di Yogyakarta.
"Kawan-kawan Papua di Jawa barat melakukan ibadah hari besar bangsa Papua 1 Desember pada tahun 2012. Tetapi Kapolda Jawa barat malah memblokade asrama. Sehingga mahasiswa Papua tidak bisa keluar asrama selama tiga hari," kata perwakilan mahasiswa Papua di Jawa Barat membawahi Cianjur, Sukabumi, Depok, dan Kabupaten Bogor, Yunus Gobay.
Hal serupa juga dialami oleh mahasiswa Papua di wilayah Jawa Timur. Perwakilan mahasiswa Papua di Jawa Timur, Misatius Morip mengatakan, mereka bahkan pernah dianggap hendak melakukan makar.
"Kami di Jawa Timur juga mendapatkan teror rasisme. Kita melakukan kegiatan dianggap makar. Kita bukan separatis, status kami jelas bahwa kami mahasiswa," kata Misatius Morip.