Makanan Ultra-Proses Ada yang Bermanfaat Baik, Ahli Gizi: Kecuali Minum Susu Langsung dari Sapi
Beberapa makanan memerlukan fortifikasi dengan penambahan banyak vitamin dan mineral penting untuk mengatasi kekurangan nutrisi seperti kekurangan zat besi.
Makanan Ultra-Proses biasa ditambah pewarna buatan, gula atau garam
Makanan Ultra-Proses Ada yang Bermanfaat Baik, Ahli Gizi: Kecuali Minum Susu Langsung dari Sapi
Baru-baru ini, muncul pembahasan mengenai Makanan Ultra Proses atau Ultra Processed Food (UPF). Sebenarnya apakah semua UPF itu buruk? Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi, pakar sekaligus Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bahwa tidak tepat apabila semua UPF dinilai tidak sehat. Secara pribadi, Dr. Purwiyatno menilai, pengelompokkan makanan sebenarnya tidak semata-mata berdasarkan pada pengolahannya, khususnya untuk ultra processed food. "Masalahnya adalah ketika ultra processed food dinilai paling tidak sehat, padahal belum tentu," kata Dr. Purwiyatno di Jakarta, Selasa (22/8).
Dr. Purwiyatno mengatakan processed Food sendiri adalah bagian dari makanan yang sudah diproses serta ditambah dengan zat aditif, seperti pewarna buatan, gula, garam, perisa buatan, lemak dan lainnya. Selain diproses untuk menjadikannya lebih lezat, terdapat beberapa manfaat lain dari makanan UPF. Beberapa di antaranya adalah makanan bisa lebih awet dan tahan lama, serta praktis dan enak untuk dikonsumsi. Jadi, kecuali kita memetik apel langsung dari pohonnya atau meminum susu langsung dari sapi, jadi sebagian besar makanan yang kita makan diproses secara teknis.
"Nah, sejumlah ahli gizi, mengingatkan bahwa tidak semua pemrosesan makanan itu buruk. Misal, pengolahan susu menjadi yogurt atau gandum yang diolah menjadi roti merupakan contoh pemrosesan makanan sederhana yang tetap memiliki kandungan gizi," kata Dr. Purwiyatno. Oleh karena itu sebaiknya kita tidak menyamaratakan semua teknik pemrosesan makanan sehat menjadi sampah. Hanya karena sesuatu telah melalui proses bukan berarti tidak sehat untuk dimakan. UPF juga dapat diperkaya dengan micronutrients dan asam amino yang dapat dikonsumsi tubuh dengan mudah. Proses ini juga lazim dikenal dengan proses fortifikasi.
Beberapa makanan memerlukan fortifikasi dengan penambahan banyak vitamin dan mineral penting untuk mengatasi kekurangan nutrisi seperti kekurangan zat besi, kalsium dan vitamin D. Beberapa makanan yang diproses fortifikasi dengan penambahan vitamin dan mineral dibutuhkan untuk menggantikan kebutuhan nutrisi yang hilang selama proses pengolahan, seperti zat besi, kalsium dan vitamin D.
Sementara itu, menurut peneliti PRTPP BRIN (Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional) Ardiba Rakhmi Sefrienda, ada kemungkinan zat gizi yang terkandung dalam pangan tersebut hilang atau rusak pada saat proses pembuatan atau pengolahan. Atau, memang minim karena jumlah kandungan gizinya yang kurang. “Untuk itu perlu fortifikasi, untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas gizi makanan pada total asupan konsumsi pada kelompok, komunitas, atau populasi tertentu," papar Ardiba seperti dikutip dari laman BRIN.
Menurut dia, ada banyak bahan pangan yang dapat difortifikasi. Terutama, lanjut dia, bahan-bahan pangan utama seperti garam, susu, beras, margarin, dan mie instan. Dia melanjutkan, fortifikasi tersebut tidak mengubah warna maupun rasa pada produknya. Oleh karena itu, dapat membantu perbaikan gizi ke masyarakat. Bubur bayi (MPASI komersial) juga diperkaya (fortifikasi) dengan zat besi dan mikronutrien lainnya sesuai standar WHO dan BPOM serta tidak mengandung pengawet atau bahan berbahaya. Disamping itu, MPASI komersial juga menawarkan kepraktisan dan memiliki kandungan gizi lengkap dan seimbang.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan Global Nutrition Report (GNR) tahun 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban ganda malnutrisi. Untuk memperbaiki masalah gizi tersebut, pemerintah melakukan fortifikasi pada sejumlah pangan di Indonesia. Gangguan akibat kekurangan yodium pada anak meningkat dari 12,9 persen tahun 2007 menjadi 14,9 persen di tahun 2011. Anemia pada anak dan ibu hamil juga masih tinggi masing-masing 17,6 persen (Riskesdas 2011) dan 48,9 persen (Riskesdas 2018).