Mengenal alat musik tradisional Rinding Gumbeng asal Gunungkidul
Mengenal alat musik tradisional Rinding Gumbeng asal Gunungkidul. Rinding Gubeng diperkirakan sudah dimainkan sejak ratusan tahun yang lalu. Tak ada literatur pasti yang menyebutkan kapan alat musik Rinding Gumbeng mulai dikenal oleh masyarakat Gunungkidul.
Tak banyak yang tahu bahwa di Gunungkidul, DIY ada sebuah alat musik tradisional bernama Rinding Gumbeng. Rinding Gumbeng merupakan alat musik musik tiup yang dibuat dengan menggunakan bahan dasar bambu.
Rinding Gubeng diperkirakan sudah dimainkan sejak ratusan tahun yang lalu. Tak ada literatur pasti yang menyebutkan kapan alat musik Rinding Gumbeng mulai dikenal oleh masyarakat Gunungkidul. Masyarakat Gunungkidul hanya mengenal Rinding Gumbeng secara turun menurun dari sejarah lisan yang diceritakan oleh para sesepuh.
Salah satu yang masih melestarikan dan memainkan Rinding Gumbeng adalah Sri Hartini (48), warga Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Setiap Jumat malam, Sri Hartini bersama dengan warga Dusun Duren lainnya, aktif berlatih dan memainkan Rinding Gumbeng.
Sri Hartini menceritakan bahwa awal mula alat musik Rinding Gumbeng dikenal karena dimainkan saat panen hasil bumi. Saat panen, masyarakat Gunungkidul biasanya mengarak hasil bumi dan Dewi Sri keliling kampung sembari memainkan Rinding Gumbeng. Dalam mitologi Jawa, Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan. Dengan mengarak hasil bumi, diharapkan hasil panen berikutnya akan lebih baik dan melimpah hasilnya.
"Masyarakat percaya ketika memainkan Rinding Gumbeng, Dewi Sri akan turun ke bumi. Merasa terhibur oleh permainan Rinding Gumbeng, Dewi Sri akan memberikan kesuburan kepada tanaman dan akan membuat hasil panen bertambah," jelas Sri Hartini, Kamis (20/4) yang lalu.
Selain dimainkan saat panen hasil bumi, Rinding Gumbeng, lanjut Sri Hartini, juga dimainkan saat upacara Sadranan atau Ruwahan. Acara ini biasanya diadakan pada bulan Ruwah, sebuah bulan dalam kalendar penanggalan Jawa.
"Biasanya dimainkan saat Ruwahan hutan rakyat Wonosadi, Ngawen, Gunungkidul. Ruwahan ini digelar setahun sekali," papar Sri Hartini yang merupakan Ketua Kelompok Ngudi Lestari yang merupakan pengelola dan pengawas Hutan Rakyat Wonosadi.
Sri Hartini menjelaskan bahwa untuk membuat Rinding Gumbeng tak bisa menggunakan bambu sembarangan. Bambu khusus yang digunakan adalah bambu Begung. Selain itu juga dibutuhkan pelepah aren.
"Dibuat dengan bambu. Panjangnya sekitar 25 cm dan tebal 2 mm. Di tengah belahan bambu diberi lubang, dan dibuat seperti jarum dengan panjang 20 an cm. Ujungnya diberikan tali untuk menarik. Sedang sisi lainnya sebagai pegangan," terang Sri Hartini.
Sri Hartini menguraikan bahwa untuk memainkan Rinding caranya cukup unik. Rinding diletakkan di bibir kemudian mulut sedikit membuka. Lalu pemain mengeluarkan suara dari dalam leher. Nanti jarum yang ada di tengah rinding akan bergetar dan muncul suara. Sedangkan Gumbeng adalah alat untuk mengiringi Rinding. Gumbeng terbuat dari bambu yang dibeberapa bagiannya diberi lubang.
"Rinding tidak punya nada-nada seperti piano atau seruling. Bunyi yang dikeluarkan tergantung dari perasaan pemainnya. Pemainnya sendiri bisa berjumlah empat atau lima orang. Masing-masing memegang rinding, kemudian dua gumbeng. Kadang ada satu orang penyanyi melantunkan lagu," tutur Sri Hartini.
Meskipun masih kerap dimainkan di Dusun Duren tetapi Sri Hartini mengeluhkan bahwa saat ini tak banyak generasi muda yang mau aktif dan terlibat kesenian Rinding Gumbeng. Padahal saat ini, setiap beberapa bulan sekali grup Rinding Gumbeng asal Dusun Duren ini rutin tampil dalam festival musik di Yogyakarta. Untuk menarik peminatnya, saat memainkan Rinding Gumbeng juga dikolaborasikan dengan alat musik tradisional lainnya.
"Kami terus berupaya agar generasi muda mau memainkan alat musik Rinding Gumbeng ini. Kami terus mengajak kepada anak muda untuk melestarikan alat musik asli Gunungkidul ini," pungkas Sri Hartini.
-
Kapan Hari Musik Nasional dirayakan di Indonesia? Hari Musik Nasional dirayakan setiap tanggal 9 Maret di Indonesia.
-
Bagaimana keragaman budaya di Indonesia menciptakan mozaik budaya yang unik? Dengan lebih dari 300 suku dan berbagai bahasa daerah, keberagaman ini menciptakan mozaik budaya yang unik.
-
Apa yang istimewa dari Yogyakarta? Pada zaman pendudukan Jepang, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta disebut dengan istilah Yogyakarta Kooti.
-
Mengapa Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023 mengangkat tema "Kembul Mumbul"? Dalam konteks Jawa, “kembul” merupakan sebuah peristiwa kolektif yang ditandai dengan aktivitas menikmati hasil padi di satu meja saji yang sama. Sementara “mumbul” berarti melanting atau membumbung tinggi. Secara mendasar, kembul mumbul dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk memunculkan, memantik, dan mendorong kita semua agar menjadi gerakan kesadaran bersama terkait persoalan ketahanan pangan.
-
Bagaimana musik oklik menjadi kesenian tradisional di Bojonegoro? Proses perubahan oklik dari alat komunikasi dan sarana ritual pengobatan warga kemudian menjadi kesenian dengan sendirinya. Dulunya alat musik ini dipukul secara tidak beraturan dengan pola ritmis abstrak. Suatu ketika ada perkumpulan beberapa penunggu cakruk yang memainkan oklik secara bersama-sama. Mereka dapat menciptakan pola ritme serempak dan rancak ketika dibunyikan bersama-sama. Oklik kemudian dikenal sebagai kesenian asli Bojonegoro.
-
Apa tema utama Festival Kebudayaan Yogyakarta tahun 2023? Pada tahun ini, acara Festival Kebudayaan Yogyakarta mengusung tema “Kembul Mumbul”. Tema besar ketahanan pangan memang diambil dalam agenda tahunan tersebut.
Baca juga:
Islam Nusantara Center, tempat mengenal perkembangan Islam di RI
Keajaiban air di Candi Jolotundo kualitas hampir setara zam-zam
Saksikan tari Bedhaya Ketawang, PB XIII berurai air mata
Tradisi Merdi Bumi di tanah Cilacap
Menetralkan sifat-sifat buruk dengan perang lumpur ala pemuda Bali
Melihat ciri-ciri Suku Mante lewat kacamata arkeolog Aceh