Mengenal Denda Adat Sopi dan Ayam Merah, Sanksi Bagi Perusak Hutan Dalam Kawasan Cagar Alam Mutis Timor Tengah Selatan
Sanksi berupa satu keping koin perak, satu botol arak atau sopi, satu ekor babi, satu ekor ayam merah, beras 40 kilogram, uang tunai Rp50.000 dan tujuh tenun.
Masyarakat Adat Desa Fatumnasi melaksanakan ritual penjatuhan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan di kawasan hutan Cagar Alam Gunung Mutis, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sanksi yang dikenakan berupa satu keping koin perak, satu botol arak atau sopi, satu ekor babi, satu ekor ayam merah, beras 40 kilogram, uang tunai Rp50.000 dan tujuh lembar tenunan selendang.
- Menkop Teten Yakin Harga Susu Ikan Bisa Bersaing dengan Susu Sapi
- Kisah Sukses Pria Asal Malang Ternak 500 Ekor Ayam Kampung di Kompleks Perumahan Tanpa Bau, Bermula dari Hobi Kini Jadi Supplier Daging
- Dulu Susah, Pria Lulusan SMA Ini Sukses Beternak Ayam
- Mengenal Ayam Kukuak Balenggek, Hewan Endemik Sumatera Barat yang Punya Suara Merdu
Pelaksanaan sanksi adat terhadap pelanggaran yang dilakukan di dalam kawasan hutan atau Cagar Alam Mutis merupakan implementasi pengelolaan kawasan konservasi berbasis tiga pilar yaitu, pemerintah, masyarakat adat dan tokoh agama.
Ritual adat dipimpin oleh ketua adat Desa Fatumnasi Yusman Oematan, yang dimulai dengan tutur adat dan penyerahan minuman sopi, serta uang perak kepada BBKSDA NTT yang diwakili Kepala Bidang KSDA Wilayah I.
Penyerahan ini sebagai simbol pengakuan bersalah, permohonan maaf, serta janji untuk tidak mengulangi kembali pelanggaran yang sudah terjadi di kawasan Cagar Alam Mutis.
Yusman Oematan mengatakan, dalam sistem sosial budaya, Gunung Mutis bagi masyarakat Mollo diibaratkan sebagai Ibu yang sangat penting untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat. Karena merupakan hulu dari beberapa DAS di wilayah Pulau Timor.
Kepala Balai Besar KSDA NTT Arief Mahmud menjelaskan, Cagar Alam Gunung Mutis sebagai ibu yang telah memberikan kehidupan kepada masyarakat, maka harus dijaga kelestariannya, agar hutan ini dapat terus memberikan kehidupan.
"BBKSDA NTT menghargai dan menghormati atas penjatuhan sanksi adat sebagai implementasi pengelolaan kawasan berbasis pemerintah, masyarakat adat dan tokoh agama," kata Arief, Sabtu (27/7).
Menurut Arief, ritual adat ini mempunyai nilai kesakralan yang sangat tinggi karena sebagai warisan leluhur yang harus dipegang teguh oleh seluruh masyarakat adat Mutis dan masyarakat secara umum.
"Diharapkan ritual sanksi adat ini menjadi yang terakhir kalinya dilaksanakan, sebagai perwujudan bahwa kita semua berkomitmen untuk memegang teguh adat istiadat ini," jelas Arief.
Selain itu, sanksi adat tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera sehingga apabila dikemudian hari masih terdapat pelanggaran terhadap kawasan hutan atay kawasan Cagar Alam Mutis, maka kepada pelaku akan dilakukan penyelesaiaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dinas LHK NTT sebagai pembina kegiatan perhutanan sosial menyampaikan terima kasih kepada BBKSDA NTT yang telah memberikan penjelasan dan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, serta Hutan Lindung Mutis Timau sehingga bentuk perusakan kawasan hutan dapat dicegah.
Apabila dikemudian hari ditemukan pelanggaran oleh seluruh anggota Gapoktanhut Tunfeu sebelum maupun sesudah Izin Perhutanan Sosial keluar, maka akan diproses dengan Hukum Positif (Pidana) yang berlaku," kata Kepala Dinas LHK NTT, Ondy Christian Siagian.
Menurutnya, Izin Perhutanan Sosial masih dalam proses sehingga seluruh anggota Gapoktanhut Tunfeu harus menghentikan aktifitas terkait perhutanan sosial. Sehingga kelestarian hutan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
"Mari kita tanamkan harapan masa depan hijau yang berkelanjutan dengan partisipasi aktif seluruh masyarakat melalui aksi nyata dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan kita," kata Ondy Christian Siagian.
Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.4617/MENLHK-PKTL/ KUH/PLA.2/9/2017 seluas 12.315,61 Hektar. Terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 9.888,78 Ha (80,29 %) dan Kabupaten Timor Tengah Utara seluas 2.426,83 Ha (19,71 %) dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Keberadaan kawasan hutan ini penting sebagai type perwakilan hutan hujan dataran tinggi di Pulau Timor dengan ekosistem hutan alam Ampupu, serta hutan pegunungan primer.
Kawasan hutan ini juga merupakan habitat berbagai jenis satwa penting di Nusa Tenggara Timur. Sebagian di antaranya merupakan satwa endemik dan dilindungi.
Untuk diketahui, Ritual itu dihadiri Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah Timor Tengah Selatan, Perangkat Desa Fatumnasi, Tokoh adat masyarakat Desa Fatumnasi dan Pengurus Gabungan Kelompok Tani Hutan Tun Feu.